Ahli ekonomi syariah menilai pemangkasan subsidi untuk efisiensi APBN ibarat berjudi, soalnya daya serapnya juga rendah dari tahun ke tahun.

Memang, pemangkasan subsidi bahan bakar minyak (BBM) untuk memberi ruang fiskal lebih luas bagi negara. Misalnya, agar dapat digunakan untuk membangun infrastruktur, alih-alih memberikan subsidi BBM yang dinilai tidak benar menyentuh kepentingan rakyat kecil.Baca juga: Alasan Jitu Jokowi Naikkan Harga BBM
Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Dr. Irfan Syauqi Beik menilai pemangkasan subsidi ini sebenarnya tindakan berisiko karena ada ketidakpastian. “Ini menurut saya gambling buat pemerintahan baru. Sanggup tidak, dalam waktu singkat di 2015 ini untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyerapan anggaran yang sudah ada? Karena kalau tidak, akibatnya nanti akan menjadi sia sia, ketika misalnya kita punya kelebihan dana, tapi untuk anggaran yang sudah ada saja, kemampuan daya serapnya masih rendah. Itu akan menjadi problem,” kata Irfan kepada MySharing, (18/12).
Persoalan ruang fiskal yang lebih besar, bukan hanya pada ketersediaan dana, juga berujung pada manajemen birokrasi itu sendiri. Maksudnya, bagaimana pemerintah dapat menyerap anggaran dan membelanjakannya dengan cara-cara yang baik dan produktif setelah melakukan pemangkasan subsidi. Produktifitas anggaran tentunya berujung pada memberikan stimulus yang kuat pada ekonomi untuk berkembang yang jika merata akan menyejahterakan rakyat. Baca juga: MUI: Kenaikan BBM Bukan Solusi Sejahterakan Rakyat
Terutama untuk membantu usaha kecil dan menengah (UKM ). Sebagaimana diketahui, meski UKM dianggap sebagai tulang punggung ekonomi Indonesia, masih didengar di mana-mana keluhan sulitnya UKM Indonesia untuk berkembang. Apalagi ditambah dengan akan dibukanya keran investasi asing besar-besaran di negeri ini mulai tahun depan. Irfan menilai, ini akan makin mengancam UKM Indonesia untuk berkembang. Baca juga: Jokowi Anak Tirikan UMKM
Anggaran negara yang produktif, menurut ahli ekonomi syariah ini sangat sesuai dengan ilmu ekonomi syariah. “Ini sebenarnya adalah bagian dari prinsip makro ekonomi syariah, bagaimana kita mengoptimalkan dan mengefektifkan semua resources ini dengan baik, karena ini bagian dari perintah agama, untuk itqan (bersungguh-sungguh) dan ihsan (optimal) di dalam manajemen birokrasi. Ini yang menjadi salah satu titik krusial yang menjadi tantangan pemerintahan sekarang”, kata Irfan.[su_pullquote]”Ini sebenarnya adalah bagian dari prinsip makro ekonomi syariah, bagaimana kita mengoptimalkan dan mengefektifkan semua resources ini dengan baik”[/su_pullquote]
Tidak Efisiennya Pengelolaan Anggaran
Sementara, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan ketidakefektifan dan kurang optimalnya pengelolaan anggaran negara. Terkait pemangkasan subsidi BBM dan Listrik ditemukan, Kepala BPK, Harry Azhar Azis mengungkapkan, terdapat kesalahan pencairan dana subsidi energi senilai Rp 5,64 Triliun pada 2013. Adaa kekeliruan pada penghitungan subsidi listrik dan subsidi Jenis Bahan Bakar Tertentu (JBT).
Subsidi listrik 2013 yang sebelumnya dianggarkan Rp 106,8 triliun dikoreksi BPK menjadi Rp 5,59 Triliun, sehingga dana subsidi yang seharusnya dikucurkan pemerintah adalah senilai Rp 101,21 Triliun. Sedangkan subsidi JBT yang awalnya dianggarkan sebesar Rp 193,7 Triliun dikoreksi BPK sebesar Rp 53,43 Miliar sehingga dana anggaran yang sebenarnya seharusnya Rp 193,65 Triliun.
BPK juga mengkhawatirkan tingginya serapan anggaran di akhir tahun yang terjadi berulang. “Kita melihatnya per kuartal. Biasanya kuartal I anggaran terserap baru enam persen, kuartal II penyerapannya jadi 16 persen. Sedangkan di kuartal III penyerapannya mencapai 45 persen. Baru sisanya yang 50 persen lebih dikeluarkan pada kuartal akhir, ini kan aneh. Begini terus setiap tahun” ujar Harry di Jakarta (15/12).
Kebanyakan belanja jor-joran di akhir tahun itu untuk belanja modal. “Kalau untuk belanja rutin besarannya selalu tetap. Tapi kalau belanja modal pengeluarannya bertambah terus menuju akhir tahun. Kita perlu pertanyakan hal ini,” kata Harry menambahkan.

