Prof.Dr.M Amin Aziz
Prof.Dr.M Amin Aziz

Mengenang Prof. Dr. M Amin Aziz, Pelopor Ekonomi Syariah di Indonesia

Kabar itu datangnya dini hari. Salah satu founding fathers ekonomi syariah di Indonesia, Prof. Dr. Amin Azis berpulang ke Sang Pencipta (23/7). Almarhumlah pendiri Bank Muamalat Indonesia, bank syariah pertama di Tanah Air yang menjadi pembuka jalan bagi penerapan sistem ekonomi syariah di sini. Berikut penuturan Alm kepada MySharing, mengenai pendirian bank syariah pertama itu.

Prof.Dr.M Amin Aziz
Prof.Dr.M Amin Aziz

Berpulangnya tokoh ekonomi syariah Indonesia inidini hari pukul 03.00 WIB dalam usia 78 tahun di Jakarta. Amin Aziz selama ini memang dikenal sebagai salah seorang pendiri Bank Muamalat Indonesia sebagai bank syariah pertama di tanah air. Perjuangan tak kenal lelah Amin bersama beberapa tokoh lainnya, akhirnya membuahkan hasil dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992.

Selain sebagai pendiri Bank Muamalat, Amin Aziz juga tercatat sebagai pendiri Lembaga Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Selain itu, ia juga ikut mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan mendirikan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK), yang banyak terlibat dalam pendirian ribuan Baitul Mal wa Tamwil (BMT) di berbagai daerah di penjuru tanah air. Di organisasi yang disebut terakhir inilah, Amin banyak menghabiskan sumbangsihnya di dalam memajukan industri keuangan mikro syariah di tanah air.

Sharing sebagai majalah ekonomi dan bisnis syariah yang konsisten memberitakan tentang industri perbankan syariah di tanah air, sempat beberapa kali berkesempatan melakukan wawancara khusus dengan Amin Azis.

Salah satunya Sharing pernah datang khusus mewawancarai Amin Aziz di rumahnya yang teduh di bilangan Cijantung, Jakarta Timur beberapa waktu yang lalu. Berbagai kisah mengenai awal pembentukan Bank Muamalat Indonesia menutur pelan dari sosok Amin, yang meski usianya saat itu semakin menua, namun masih tetap tampak bersemangat. Ada suka, ada duka, dan pulang hingga larut malam, begitulah pengalaman yang dirasakan Amin kala itu. “Alhamdulillah keluarga mengerti,” kata Amin mengenang. Secara keseluruhan Amin pun telah menganggap pembentukan BMI sebagai salah satu perjuangan demi kepentingan umat.

Nah, untuk mengenang dan menghormati perjuangan alm. Prof. Dr. M. Amin Aziz di dalam memelopori industri perbankan syariah di tanah air, kamia mencoba menampilkan kembali cuplikan wawancara Reporter Majalah Sharing, Yogie Respati dengan Alm. Prof. M. Amin Aziz, pada September 2011 mengenai sejarah pendirian bank syariah pertama di Indonesia.

Bagaimana awal tercetusnya pendirian bank syariah?
Awalnya dari MUI, dimana waktu itu saya adalah wakil sekretaris MUI. Pada saat itu pemerintah memberi liberalisasi perbankan melalui Paket Kebijakan Oktober 1988 yang memberi kelonggaran bagi perbankan. Dengan keluarnya Pakto itu orang lebih gampang mendirikan bank sehingga muncullah banyak bank, seperti Bank Lippo, BII. Tapi waktu itu bank sebagian besar dimiliki oleh nonmuslim, bukan pribumi, jadi MUI merasa gusar karena yang dikumpulkan adalah uang rakyat yang sebagian besar muslim. Dari diskusi di MUI kemudian memutuskan mengadakan lokakarya perbankan dan bunga bank.

Ada perdebatan yang cukup alot saat lokakarya?
Tidak juga, malah yang alot persiapannya seperti bagaimana anggaran dananya, dana darimana. Waktu itu Departemen Agama juga kurang simpatik dengan kegiatan MUI, sehingga saya dikasih surat tugas untuk mencoba cari dana sendiri. Waktu buat lokakarya itu saya dan tim mencari dana kesana kesini, akhirnya Tommy Soeharto bersedia memberi dana cukup besar. Setelah cari dana terselenggaralah lokakarya tanggal 19-21 Agustus 1990. Di lokakarya itu kita bicara tentang status bunga bank. Ada sebagian yang mengatakan bunga bank riba, bukan riba, sedangkan sebagian ragu-ragu. Tapi satu hal yang disepakati umat Islam yang diwakili oleh MUI saat itu kita merasa perlu mendirikan bank tanpa bunga, kemudian dibentuklah tim perbankan yang mengusahakan berdirinya bank tanpa bunga.

Apa saja kegiatan tim perbankan MUI?
Kami mendiskusikan bagaimana langkah-langkahnya. Waktu itu langkah pertama ke Departemen Keuangan bertemu dengan Dirjen Moneter Oskar Surjaatmadja, Menteri Keuangan JB Sumarlin, dan Sekjen Dirjen Moneter Karnaen Perwataatmadja yang juga direktur eksekutif IDB. Kita banyak dapat dorongan dan suplai bahan-bahan konsep perbankan syariah dari Karnaen. Pada 4 September 1990 kita mulai kegiatan itu cukup lama dan bertemu dengan banyak tokoh yang mendukung seperti Alamsyah Perwiranegara (mantan Menkokesra) . Tim MUI sering melapor dan silaturahmi ke rumah beliau, sampai kadang-kadang makan siang, makan malam disana. Jadi markas tidak resmilah. Beliau juga yang menghubungi sejumlah pejabat, seperti Arifin Siregar (menteri perdagangan 1988-1993), Azwar Anas (menteri perhubungan), Ismail Saleh (menkumham), Bustanil Arifin (kepala Bulog), Hartarto (menperin), Rachmat Saleh (mantan Gubernur BI). Semua menteri kita datangi dan jelaskan tentang bank syariah apa manfaatnya, dan minta dukungan. Ada yang mulus, ada juga yang nggak.

Di masa itu jika Soeharto tidak setuju sebenarnya kan agak sulit, lalu bagaimana tim bisa meyakinkan pemerintah?
Jadi orang-orang di sekitar Soeharto dulu yang dibuka pola pikirnya. Kami bertemu juga dengan Mensesneg Moerdiono karena yang dekat ke Soeharto kan waktu itu Moerdiono. Kami menjelaskan ke beliau cukup sulit sampai tiga kali bertemu. Ia bukannya mempersulit tapi karena ingin tahu lebih banyak agar dia bisa menjelaskan ke Soeharto. Ada 1 menteri lagi yang angel (sulit) yang harusnya lancar yaitu Menag, mungkin karena pendidikannya Barat jadi tidak begitu penuh dukungan positif.

Lalu akhirnya pemerintah memberikan lampu hijau?
Soeharto memberi dukungan kuncinya itu adalah di Habibie. Saat itu terbentuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada Desember 1990, Habibie jadi ketua umumnya. Jadi MUI berharap bisa gandeng Habibie dan sepakat diskusi ke beliau pada Juni 1991. Waktu itu tokoh MUI yang datang ada Quraish Shihab, (alm) Hasan Basri, Hasan M Sudjono, Prodjokusumo, Ibrahim Hosein, Ali Yafie. Kita rapat di lantai 3 BPPT dan berdiskusi panjang lebar. Habibie juga mengundang sejumlah tokoh perbankan, seperti Rachmat Saleh, Robbi Johan, Zainulbahar Noor. Lalu Habibie waktu itu membentuk dua tim yaitu tim penggalangan dana dimana Habibie tunjuk saya jadi ketua tim dan tim kelembagaan manajemen diketuai Rachmat Saleh.
Waktu itu pendirian bank umum masih murah Rp 3 miliar jadi kita kirim anggota ke Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila. Ketuanya kan Soeharto lalu sekretaris dan bendaharanya Ginanjar Kartasasmita yang saat itu beliau juga menteri pertambangan. Akhir Juni 1991 sesudah tiga hari ketemu Habibie, dia telpon saya. Waktu itu saya masih pake telpon mobil yang besar dan antenanya tinggi. Beliau lagi di Bandung bilang ‘Pak Amin saya sudah ketemu bapak (Soeharto)’. Saya tanya ‘Gimana hasilnya?’. ‘Alhamdulillah beliau setuju mendirikan bank tanpa bunga tapi bank yang kecil itu’. Jadi maksudnya kayak BPRS bukan bank umum. Kemudian kami lapor ke MUI dan diputuskan kita jalan saja yang penting Soeharto setuju dengan bank syariah. Jadi kita siapkan saja, Soeharto juga kan tidak mau terlalu detil jadi kita jalan saja.
Tapi ternyata awal Juli Habibie ke Jerman dan harus bypass jantung jadi kami kehilangan kontak. Tapi lalu ketemu jalan baru dengan Ginanjar. Akhir Juli 1991 saya ditelpon sama Ginanjar diajak untuk duduk makan siang di kantor Kementerian Pertambangan membicarakan bank tanpa bunga. Saya, Hasan Basri dan Rahmat Saleh kesana lalu bicara gimana caranya kita siapkan dan desain untuk ketemu Soeharto. Kita dikasih waktu ketemu sekitar tanggal 27 Agustus 1991. Sebelum itu kita kumpulkan pengusaha untuk menggalang dana modal disetor bank tanpa bunga ini. Wakil Ketua Umum Kadin, Aburizal Bakrie yang waktu itu datang dari meja ke meja. Dalam tiga kali pertemuan terkumpul Rp 60 miliar yang kemudian dilanjutkan dengan pertemuan besar di Hotel Sahid. Setelah itu akhir Agustus saya bertemu dengan Soeharto dan beliau setuju. Soeharto juga mencanangkan agar ada penggalangan dana lagi di Istana Bogor sementara tim penggalangan dana akan jalan terus.

Sosialisasi ke masyarakat Jawa Barat seperti apa?
Soeharto memanggil Gubernur Jawa Barat, Yogie S Memet dan beliau yang menjelaskan bank ini. Saat itu langsung dapat dukungan dari gubernur, tapi yang aktif beberapa kali rapat dengan wakil gubernur. Saat itu juga banyak sekali pengusaha kecil ikut beli saham seharga Rp 10 ribu sampai Rp 20 ribu. Jadi BMI itu pemegang sahamnya banyak sekali, ratusan ribu. Waktu di Istana Bogor itu kita juga tidak menyediakan makanan, makanannya disediakan oleh pengusaha kecil yang dikumpul di tempat menjangan itu. Jadi dibikin gubuk, makan di situ.

Bagaimana dalam pencarian nama bank Islam itu?
Pencarian nama itu terus berkembang jadi sebelum kita menkonkritkannya ke menteri kehakiman, kita terus cari nama. Mulanya namanya itu Bank Islam Indonesia tapi waktu itu memunculkan nama islam tidak simpatik dalam kondisi lingkup yang belum mantap betul, lalu berubah jadi BSI (Bank Syariah Indonesia ). Di kantor saya di Tebet waktu itu AM Saefudin mengusulkan nama Bank Muamalat Islam Indonesia , kemudian setelah itu konsolidasi dengan tim pak Harto. Tapi pak Harto usulkan Muamalat kan udah Islam namanya jadi tidak usah pakai kata Islam, Bank Muamalat Indonesia saja. Muamalat kan asal katanya dari amal, amal itu kan perbuatan jadi lebih banyak menekankan pada amal perbuatan kepada kegiatan sektor riil, jadi kegiatan perbankan untuk mendorong berkembangnya sektor riil.

Namanya ditetapkan setelah dana terkumpul?
Namanya sudah ada sebelum pertemuan Bogor karena waktu pertemuan Bogor pak Harto menyebutkan BMI itu sampai dua kali salah, menyebutnya Mualamat. Lalu akhir 1991 sampai akhir April 1992 kami persiapkan gedung, dan kepengurusan. BMI grand opening 1 Mei 1992 dihadiri oleh JB Sumarlin setelah itu sudah mulai operasi.

Dalam penetapan direksi dan perekrutan pegawai seperti apa?
Waktu itu tim bidang manajemen ketuanya Rachmat Saleh. Saat itu memang banknya sulit karena apalagi profesional perbankan sulit pindah, dari yang sudah mapan pindah ke bank yang baru berdiri dan belum tahu ke depan akan seperti apa. Alhamdulillah Zainulbahar Noor (menjadi Dirut) dan direktur lainnya Maman W Natapermadi. Komisarisnya Omar Abdalla, Rachmat Saleh, Amir Radjab Batubara, saya, dan Soekamdani. Kita juga siapkan calon staf sekitar 40 orang yang kita rekrut dan seleksi. Kita dibantu pelatihan juga oleh Bank Islam Malaysia Berhad. Selain itu juga kita kirim ke Iran , rencananya ke Turki juga tapi tidak jadi. Jadi akhirnya ke Iran bisa sampai 2 bulan untuk ikut praktek di bank Islam di Iran. Beberapa staf senior BMI juga ke Malaysia untuk pelatihan atau teman-teman Malaysia kadang terbang kesini untuk melatih.

Setelah BMI beroperasi sosialisasinya seperti apa?
Waktu itu cukup luas karena didukung oleh MUI, lembaga dakwah, bahkan ada beberapa lokasi Zainulbahar Noor buat kantor cabang di masjid. Jadi banyak kegiatan sosialisasi termasuk ke daerah-daerah, ya kita keliling. Saat itu juga terutama pada musim haji, Soeharto minta calon jemaah haji untuk membeli minimal 1 lembar saham BMI harganya Rp 10 ribu. Jadi waktu itu selama tahun 1993-1996 jamaah haji punya saham BMI. Ya mudah-mudahan masih ada yang simpan.

Ada pengalaman yang paling dikenang atau menarik?
Ya banyak, misalnya sosialisasi sudah dimulai dari sebelum BMI berdiri. Saat itu ada yang pro-kontra antara lain ada statement dari Gusdur, ‘Lebih baik bikin kebun rambutan daripada Bank Muamalat’, tapi secara umum BMI diterima. Waktu itu juga salah satu pengusaha Arab Saudi, Saleh Kamil sesudah pembentukan BMI dia menuntut kenapa ditinggalkan. Sebelumnya kami bertemu dia di bungalo Puncak untuk menggalang dana. Kami juga sempat kirim surat beberapa kali tapi tidak balas, jadi waktu itu ahli hukumnya datang kesini menuntut tapi akhirnya selesai.