BPJS Kesehatan Belum Tampung Aspek Syariah

[sc name="adsensepostbottom"]

Majelis Umala Indonesia (MUI) mendorong pengelolaan Badan Jaminan Sosial (BPJS ) Kesehatan sesuai aspek syariah dan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

logo bpjs sayriahKetua Komisi Dakwah MUI Cholil Nafis mengatakan, MUI melihat pengelolaan Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan belum memenuhi aspek akad syariah yang difatwakan MUI. Oleh karena itu, MUI lewat Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada Juni lalu, merekomendasikan BPJS Kesehatan Syariah.

Menurutnya, rekomendasi itu tidak serta merta kekuasaan MUI saja, tapi karena banyak masyarakat yang mempertanyakan BPJS Kesehatan syariah. “Kami bukan menganggu program BPJS, justru kami mendukung. Karena banyak orang sakit bisa berobat. Namun harus sesuai dengan syariah,” kata Cholil dalam seminar bertajuk “Menyikapi Fatwa MUI tentang BPJS Kesehatan,” di kampus Universitas Indonesia (UI) Salemba, Jakarta, Jumat pekan.

Pada permasalahan akad BPJS Kesehatan, dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2011 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa Asuransi Sosial Nasional adalah suatu mekanisme tata cara pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan atau anggota keluarga.

Demikian pula disampaikan dalam pasal 35 ayat 1 :” Jaminan sosial diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan tabungan wajib. Pasal 43 ayat 1 juga menyebutkan jaminan sosial berdasarkan prinsip sosial.

Cholil menegaskan, bahwa ketiga pasal dalam Undang-Undang No 40 Tahun 2011 itu memiliki bahasa yang ambigu di sisi hukum. Dalam prinsip sosial UU tersebut tidak melihat aspek syariahnya. Sedangkan dalam aspek syariah, tabungan harus kembali kepada penabung dan inilah yang tidak dilakukan BPJS Kesehatan.

Menurutnya, kalau bicara asuransi sesuai dengan UU No 40 tahun 2011, Perseroan Terbatas, UU Perbankan Syariah, dan UU Asuransi terbaru. Kalau meliputi syariah, maka kepatuhan syariah harus dikembalikan kepada MUI. MUI, tidak melihat aspek akad yang detail pada BPJS Kesehatan.

Misalnya asuransi, ketika orang bayar premi langsung bagi dua. Kalau premi menggunakan antara tabaru dan ijari. Maka ketika premi itu satu juta, maka Rp 500 ribu dialirkan ke Tabaru, sisanya ke ijari. Yang tabaru adalah bagian yang diamalkan, yang ijari bagian penabung. Sehingga ketika orang itu berhenti asuransi, saat itu juga uang dia kembali. Beda dengan konvensional, berhenti saat itu juga atau setahun kemudian, uang tidak akan kembali.

Cholil menilai, stándar pelayanan minimum BPJS Kesehatan tidak jelas, sehingga masih banyak masyarakat yang ditolak oleh rumah sakit. Bahkan tidak terlayani dengan baik. Sedangkan peserta BPJS Kesehatan selalu mendapatkan denda ketika terlambat membayar iuran.

Menurutnya, agar disipilin pemberlakukan denda boleh-boleh saja, karena dalam fatwa DSN MUI, memperbolehkan mengambil denda. “Tetapi denda harus masuk dalam kategori dana sosial, tidak boleh menjadi keuntungan perusahaan,” katanya.

Agar seimbang, lanjut dia, BPJS Kesehatan tidak boleh hanya memberikan sanksi kepada peserta, tapi peserta juga berhak memberikan sanksi kepada BPJS ketika pelayanan tidak bagus. “Kalau kita bayar denda, BPJS juga harus didenda. Ini sebagai wakalah karena BPJS mengambil profit dari kita,” pungkasnya.