Dompet Dhuafa bersama Koalisi Rakyat untuk Keadilan Nelayan & Perikanan (KIARA) menggulirkan program Gerakan Tanam Mangrove di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Guna merealisasikan upaya tersebut, tanah seluas 1200 hektar telah dibebaskan dari konversi sawit. Sejak Oktober 2015 lalu, secara swadaya dan bertahap, revitalisasi mangrove telah dilakukan di atas lahan kurang lebih 400 hektar. Dalam perjalanannya, Dompet Dhuafa dan KIARA menilai gerakan yang sudah dilakukan oleh masyarakat Langkat harus didukung dengan penanaman 10 ribu mangrove di atas lahan yang telah dikonversi.
Syamsul mengungkapkan, penanaman mangrove telah dilakukan di dua desa, yaitu Lubuk Kertang dan Perlis, meliputi Dusun 5 Melur (Perlis), Dusun Sembilan (Panglong, Perlis), dan Dusun Lubuk Kertang. Pasca penanaman pada Oktober hingga Desember 2015 lalu, masyarakat setempat pun telah merasakan dampak positifnya.
Salah satu dampak yang diterima oleh masyarakat pasca program digulirkan, kelompok perempuan nelayan desa Perlis Mutiara Bahari telah dikukuhkan dan mendapatkan kepercayaan untuk melaksanakan kegiatan dengan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Langkat yaitu Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat Melalui Terapan Teknologi Tepat Guna (TTG). “Dampak lainnya adalah semakin banyaknya kepiting bakau di Hutan Mangrove yang membuat penghasilan para nelayan bertambah,” ujar Syamsul.
Syamsul menerangkan, nelayan tradisional Indonesia masih terancam dengan segala bentuk upaya konversi sawit secara besar-besaran. Seperti yang terjadi di Kabupaten Langkat sebelum Dompet Dhuafa hadir, seluas 16.466 hektar hutan mangrove dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit sejak tahun 2006.
Lebih jauh, alih fungsi dari lahan mangrove menjadi perkebunan sawit memberikan dampak besar bagi nelayan yang tinggal di enam desa, yaitu Desa Perlis, Kelantan, Lubuk Kasih, Lubuk Kertang, Alur dua, Keluarahan Brandan Barat dan Kelurahan Sei Billah. Lahan yang dikonversi membuat nelayan harus menghadapi penurunan drastis pendapatan keluarga.
“Kemiskinan mengancam nelayan tradisional Indonesia yang tinggal di enam desa tersebut. Hal ini diperburuk dengan adanya ancaman cuaca buruk yang acap kali membuat nelayan sulit melaut. Dengan kondisi yang terjadi, perempuan nelayan menjadi aktor penting dalam menggerakkan perekonomian keluarga,” papar Syamsul.
Sementara itu, riset KIARA menyebutkan bahwa perempuan nelayan memiliki kontribusi mencapai 48 persen dalam perekonomian keluarga nelayan. Dengan konversi lahan mangrove yang terjadi, membuat perempuan nelayan harus berjuang dua kali lipat dari biasanya. Diharapkan, dengan adanya gerakan Perempuan Nelayan Menanam Mangrove ini dapat mengembalikan fungsi ekologis pesisir Langkat untuk kesejahteraan keluarga nelayan.

