Peresmian Indonesia Fintech Festival and Conference (IFFC) oleh Presiden Joko Widodo bersama (ki-ka), Ketua KADIN Rosan Roeslani, Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad, Menko Perekonomian Darmin Nasution, dan Gubernur Banten Rano Karno). Foto: Tirto.id

Fintech Akan Berkembang Pesat

[sc name="adsensepostbottom"]

Investasi di fintech diestimasi tembus USD 8 Miliar pada 2018. Oleh karenanya, perlu segera diregulasi.

Melihat perkembangannya, bisnis teknologi keuangan (financial technology/ fintech) tumbuh dengan cepat di dunia, termasuk di Indonesia. Dari situ terlihat ada kesempatan, tetapi tentu akan diikuti oleh risikonya. “Oleh karena itu harus segera dibuat aturan mainnya!”, kata Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia, Darmin Nasution saat berbicara di gelaran Indonesia Fintech Festival and Conference (IFFC) di ICE BSD, Tangerang, Banten, Selasa (30/8).

Aturan main itu, menurutnya akan meliputi beberapa aspek seperti market conduct dan market prudential.  Regulasi dibuat untuk mendukung, bukan menghambatnya. Untuk memudahkan, sekaligus menjaga keberlanjutannya.

Inklusi Keuangan
Penyusunan regulasi fintech, menurut Darmin, selama ini disenaraikan dengan arsitektur strategis nasional keuangan inklusi yang dibangun oleh pemerintah. Di dalam arsitektur itu, bakal ada lima pilar yang menopangnya. “Ini disiapkan pemerintah, BI, dan OJK.”

Pilar pertama adalah edukasi keuangan yang akan dilakukan bersama-sama oleh ketiga lembaga. Pilar kedua adalah hak properti masyarakat, atau secara konkretnya adalah sertifikasi tanah rakyat. “Kami menyiapkan upaya besar-besaran sehingga seluruh tanah rakyat bisa cepat disertifikasi.”

Pilar ketiga adalah fasilitas intermediasi dan saluran distribusi keuangan. Pilar ketiga ini digawangi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan di sini nantinya fintech akan banyak berperan.

Pada pilar keempat ada layanan keuangan sektor pemerintah. Adapun pihak yang banyak berperan adalah pemerintah dan Bank Indonesia, terutama dalam mengembangkan instrumen untuk membayar subsidi dan bantuan sosial. Darmin mengungkapkan, hal ini akan diatur dengan baik agar satu kartu bisa dipakai untuk mengakses berbagai hal.

Kemudian, pilar terakhir adalah perlindungan konsumen yang merupakan tanggung jawab pemerintah, BI, dan OJK. Darmin melanjutkan, sebenarnya tema besar dalam fintech adalah inklusi keuangan.

[bctt tweet=”Pada 2014, hanya 36% penduduk Indonesia yang dilayani perbankan” username=”my_sharing”]

Darmin mengakui terbelakangnya Indonesia dalam hal inklusi keuangan. Sebagai contoh, pada 2014, hanya 36% dari penduduk Indonesia yang mendapatkan layanan perbankan.

Interfacing bukan Intermediating
Di sinilah fintech bisa berperan. Dilihat dari cara kerjanya, fintech itu, menurut Darmin sedikit berbeda dengan bank. Jika bank berfungsi intermediasi, fintech berfungsi interfacing. “Mempertemukan orang yang membutuhkan pinjaman dana sedikit dengan yang memiliki kelebihan dana sedikit”, kata Darmin.

Di kesempatan terpisah, Ketua Kamar Dagang Indonesia (KADIN) periode 2015-2020, Roesan Roeslani  mengatakan, KADIN menaruh perhatian bersar pada sektor fintech ini karena peluangnya untuk memajukan dunia usaha di Indonesia.

Peluang itu dapat dilihat dari besarnya pengguna mobile phone di Indonesia. Oleh karena itu, KADIN bekerjasama dengan regulator seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) hendak membangun inkubator bisnis untuk fintech. Jadi, tidak hanya mempersiapkan regulasinya.

Tidak hanya fintech yang dilihat berpeluang, “KADIN meyakini, digital economy akan menjadi salah stau sektor yang menjanjikan di masa depan”, tegas Rosan.

[bctt tweet=”Investasi di fintech diestimasi tembus USD 8 Miliar pada 2018″ username=”my_sharing”]

Rosan sendiri optimistis, pada 2018 mendatang investasi di bidang fintech secara global akan menembus angka USD 8 Miliar. “Pada 2008 investasi di Fintech masih sekitar USD 900 juta. Pada 2013 jumlahnya meningkat menjadi USD 3 Miliar dollar, dan pada 2018 mendatang akan mencapai USD 8 Miliar,” kata Rosan.