Perusahaan Startup teknologi keuangan (Financial Technologi/ fintech) butuh diregulasi, agar berkembang.
Semakin menjamur, perusahaan fintech kian butuh kepastian hukum akan kehadirannya di jagat bisnis Indonesia. Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Firdaus Djaelani mengisahkan ini. “Ada banyak perusahaan startup, khususnya fintech yang datang ke kami minta dibuatkan segera regulasinya”, kata Firdaus saat menjadi pembicara di Indonesia Fintech Festival and Conference (IFCC), di ICE BSD, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (30/1).
Kebutuhan para perusahaan startup itu terkait proses pengajuan pembiayaan mereka ke bank. Atau, ketika mereka hendak bekerjasama dengan perbankan. Ketika mengajukan pembiayaan dalam rangka ekspansi, pihak perbankan sering menanyakan kepada mereka, siapa yang mengatur dan mengawasi fintech ini, apalagi dengan adanya risiko yang bisa saja terjadi, seperti gagal bayar.
Oleh karena itu, Otoritas sedang membuatkan regulasinya. Menurut Firdaus, pembahasan soal regulasi terkait fintech ditargetkan selesai akhir Oktober ini dan oleh karenanya bisa segera diluncurkan. “Direncanakan akhir Oktober ini, paling lambat akhir tahun ini”, kata Firdaus.
Untuk awal, menurut Firdaus, OJK tidak akan memberikan pengaturan dan pengawasan yang berbelit bagi perusahaan startup fintech. Pasalnya, regulator pun tidak ingin perusahaan terbebani dengan banyaknya aturan.
Untuk tahap awal, pengawasan dan pengaturan dilakukan secara sederhana. Adapun aspek yang diatur antara lain mengenai pendaftaran, perizinan, penyelenggaraan usaha. Misalnya, Fintech harus berbentuk Perusahaan Terbatas dan memiliki rekening di bank nasional.
Di kesempatan terpisah, Hendrikus Passagi, MSc, Peneliti Eksekutif Senior Departemen Kebijakan Strategis OJK mengatakan, kajian terus dilakukan secara intensif. Hanya memang belum selesai karena banyak sekali aspek yang harus dpertimbangkan. “Ekosistem fintech itu tidak sederhana, ini kan harus dikaji juga”, kata Hendrikus saat menjadi pembicara pada Media Ghatering KoinWorks di gelaran IFC 2016, Selasa (30/8).
Sulit dipungkiri, fintech kini memang dibutuhkan. Ia menyontohkan, salah satunya adalah untuk mengisis kesenjangan pembiayaan negara senilai Rp600 Triliun. Mengutip data nasional pada akhir 2015, menurutnya setidaknya kebutuhan pembiayaan di Indonesia mncapai Rp 1.649 Triliun. Sementara, lembaga keuangan yang ada baru mampu menyediakan hingga sekitar Rp660 Triliun. “Jadi, ada gap sekitar Rp988 Triliun yang dharapkan dapat dipenuhi dari fintech ini”, kata Hendrikus.
[bctt tweet=”Regulasi Fintech akan keluar akhir Oktober” username=”my_sharing”]
Fintech, menurutnya memiliki sumber pendanaan yang juga potensial. Kebanyakan perusahaan startup, termasuk yang di bidang fintech, mengawali usahanya dengan modal sendiri (self funding). Setelah berjalan dan berkembang, biasanya masuk investor ikut membiayai. Para investor ini biasanya adalah modal ventura. Dan, modal ventura bisa berasal dari dalam maupun luar negeri. Sehingga, ada potensi pembiayaan asing ke Indonesia melalui fintech ini.

