Heboh! Puisi Sukmawati Menistakan Agama Jimly Asshiddiqie: Tidak Setuju Di Selesaikan Secara Pidana

[sc name="adsensepostbottom"]

Puisi berjudul Ibu Indonesia karya Sukmawati Soekarno Putri masih menuai polemik meskipun sudah ada permintaan maaf secara resmi.

Terkait hal ini, Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie menanggapi banyaknya pelaporan yang dilakukan sejumlah pihak terhadap Sukmawati Soekarnoputri terkait puisi kontroversialnya.

Ia mengaku kasihan melihat apa yang dialami putri dari Presiden ke-1 RI Soekarno itu.

Menurutnya, Sukmawati tidak mengerti apa yang disampaikannya itu akan berdampak luas bagi masyarakat.

“Ya kasihan aja, mungkin (Sukmawati) tak menyadari dampaknya,” ujar Jimly, di Kantor Pusat ICMI, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (6/4/2018).

Ia pun menambahkan, Sukmawati telah mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada masyarakat yang tersinggung.

Jimly lanjut berkata bahwa dirinya merasa iba dengan kasus yang menimpa Sukmawati terkait puisi “Ibu Indonesia” yang kontroversial. Namun, Jimly menilai proses hukum atas kasus ini seharusnya menjadi upaya terakhir jika langkah-langkah lain tidak bisa menyelesaikan kasus ini.

Apalagi, kata Jimly, keberadaan penjara di Indonesia sudah penuh. Dia mencontohkan penjara di Salemba yang mempunyai kamar 1.200 namun isinya 3.861 orang. Yang masuk penjara dan akhirnya bertobat hanya 30 persen dan sisanya dendam.

“Jadi jangan semua diselesaikan secara hukum, nanti penjara penuh, karena semua penjara sudah penuh. Maka kita harus juga menyelesaikan segala hukum tak menggunakan hukum pidana,” imbuh dia.

“Hukum pidana itu ultimum remedium. Bahkan sebelum pidana, hukum dijadikan upaya paling terakhir. Kalau tak bisa dihukum, bisa menjadikan upaya terakhir,” ujar Jimly di Kantor Pusat ICMI, Menteng, Jakarta, Jumat (6/4)

Namun begitu, jika masih ada masyarakat yang tidak menerima permintaan maaf Sukmawati, maka biar aparat penegak hukum yang memprosesnya.

Jimly menyadari bahwa masyarakat mempunyai persepsi masing-masing. Ada masyarakat yang kecewa dengan pernyataan Sukmawati, tetapi ada menganggap persoalan sudah selesai ketika Sukmawati meminta maaf.

“Tapi kalau yang menganggap mesti diproses hukum, kita serahkan saja pada pihak yang berwajib. Karena polisi juga melakukan hal yang sama untuk tersangka yang lain. Jadi bisa saja nanti dituduh diskriminasi. Proses hukum itu, biar dia minta maaf, ya jalan terus,” ungkap dia.

Menurut dia, kasus Sukmawati bisa menjadi pelajaran agar kita jangan salah atau asal bicara. Pasalnya, kebinekaan masyarakat tak bisa dipaksa untuk satu jalan pikiran.

“Nah, apalagi orang yang punya citra sebagai tokoh nasional harus hati-hati, jangan mengikuti sudut pandang sendiri, pasti ada kelompok lain yang sudut pandangnya beda. Toleransi itu membutuhkan kesediaan. Biarlah kita menjadi masyarakat yang bhinneka tunggal ika,” tandas dia.

Jimly juga mengimbau kelompok masyarakat tidak perlu melakukan demonstrasi dalam merespon kasus ini, jika proses hukumnya berjalan on the track. Meskipun dia tetap menghargai hak menyatakan pendapat dari masyarakat.

Terkait isi Puisi Sukmwati, Jimly menilai orang mempunyai persepsi masing-masing dan rawan “digoreng” untuk tujuan lain. Menurut dia, jika orang mempunyai iman yang kuat, maka tidak akan terpengaruh oleh persoalan seperti itu.

“Tapi dalam persepsi sekarang, serba digoreng. Jadi mesti hati-hati. Itu punya persepsi masing-masing. Kalau orang yang memiliki tingkat iman yang tinggi dan kuat, ah nggak kepengaruh itu,” kata dia.

Lebih lanjut, dia mengingatkan bahwa di tahun politik dan menjelang pemilu bisa saja kasus yang dialami Sukmawati digoreng jadi isu politik. Bahkan, kata dia demonstrasi atas kasus Sukmawati bisa saja mempunyai motif politik.

“Pokonya sekarang tahun politik 2018, semua campur aduk. Goreng menggoreng itu urusannya watak manusia. Politik ini pasar bebas jabatan, ekonomi, pasar bebas kekayaan. Pasar politik kan lagi hangat, misalnya tahun depan cuman dua (pasangan capres-cawapres), pasti hitam putih. Kalau demo ini bisa ke kanan dan ke kiri,” pungkas dia.