Sumber Photo : hhomedesaigncom

Hukum Membeli Rumah Secara Riba

[sc name="adsensepostbottom"]
Kita tahu kebutuhan akan rumah sangat ini begitu urgent bahkan salah satu dambaan memiliki rumah sendiri bagi setiap orang dan keluarga.

Ada yang menempuh jalan memiliki sebuah rumah seseorang harus berusaha keras sehingga tersedia dana yang mencukupi. Adakalanya seseorang harus mengumpulkan dana dalam tempo yang cukup lama untuk membeli atau membangun sebuah rumah. Dan ada yang ingin segera dapat rumah lewat cara kredit. Salah satu cara yang ditempuh adalah kredit KPR. Bagaimana hukum kredit rumah KPR tersebut?

Dalam dunia modern seperti sekarang ini seseorang yang tidak mampu membeli rumah secara tunai, biasanya akan membelinya secara kredit lewat perantara perbankan karena bank biasanya memiliki produk kredit yang bisa dimanfaatkan untuk membeli rumah. Nama produk ini adalah KPR (Kredit Pemilikan Rumah). Dengan hanya menyediakan sejumlah biaya untuk uang muka (DP) mereka sudah bisa memiliki rumah. Kemudian setelah itu mereka mencicil setiap bulan ke bank untuk melunasi pembayarannya sampai tempo waktu tertentu.

Contoh Si fulan ingin membeli rumah dengan harga rumah tersebut adalah Rp. 135 juta, maka si Fulan tersebut harus membayar dulu Uang muka sesuai persentase yang telah ditentukan oleh pihak bank konvensional, umpamakan Si Fulan membayar uang muka sebesar Rp. 50 juta tunai. Maka Fulan memiliki kekurangan dana sebesar Rp 85 juta terpaksa dia pinjam ke bank.

Bank konvensional langsung membayarnya ke developer rumah atau pemilik rumah. Hutang tersebut harus dia bayar ke pihak Bank secara berangsur. Cara menghitung cicilan adalah dengan cara melihat berapa besar hutangnya, lalu setiap bulan ditambah dengan bunga sekian persen. Bulan depannya begitu juga seterusnya, setiap ada sisa hutang langsung ditambah bunga sekian persen.

Dan begitu seterusnya hingga lunas. Umpamanya dia harus membayar 85 juta itu selama 15 tahun, setelah dihitung-hitung, maka setiap bulannya dia harus membayar Rp 1.8 juta. Sehingga kalau dikalkulasikan berarti dia harus membayar ke bank sebanyak Rp324 juta. Itupun bisa berubah-rubah tergantung pada naik-turunnya suku bunga.

Transaksi seperti ini termasuk bagian dari transaksi riba yang diharamkan oleh Islam. Karena Si Fulan meminjam uang ke bank sebanyak Rp 85 juta dan harus mengembalikannya sebanyak Rp.324 juta, atau bahkan lebih.

Dari simulasi diatas dapat kita ketahui bahwa yang terjadi dalam kredit KPR adalah pihak bank meminjamkan uang kepada nasabah dan ingin dikembalikan lebih. Jadi realitanya, bukanlah transaksi jual beli rumah karena pihak bank sama sekali belum memiliki rumah tersebut. Yang terjadi dalam transaksi KPR adalah meminjamkan uang dan di dalamnya ada tambahan dan ini nyata-nyata riba. Itu sudah jelas. Kita sepakat bahwa hukum riba adalah haram.

Dan perlu diketahui oleh sahabat-sahabat penggiat ekonomi syariah bahwa bukan hanya pemakan riba (rentenir) saja yang terkena celaan. Namun Sang penyetor riba yaitu nasabah yang meminjam pun tak lepas dari celaan. Ada hadits dalam Shahih Muslim, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1598).

Mengapa sampai penyetor riba pun terkena laknat? Karena mereka telah menolong dalam kebatilan. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits di atas bisa disimpulkan mengenai haramnya saling menolong dalam kebatilan.” (Syarh Shahih Muslim, 11: 23).

Sehingga jika demikian sudah sepantasnya penyetor riba bertaubat dan bertekad kuat untuk segera melunasi utangnya.

LALU BAGAIMANA SOLUSINYA

Jika kita sudah memahami bahwa riba itu haram dan kita sebagai penggiat ekonomi syariah dilarang turut serta dalam transaksi riba termasuk pula menjadi seperti si fulan dalam contoh simulasi diatas, maka sudah sepantasnya kita sebagai seorang muslim mencari jalan yang halal untuk memenuhi kebutuhan primer kita termasuk dalam hal papan.

Perlu diketahui memiliki rumah dengan kredit KPR Konvensional bukanlah ide yang BAGUS karena kita masih ada banyak cara halal yang bisa ditempuh dengan tinggal di rumah beratap melalui rumah kontrakan. Atau kita bisa pergi ke bank Syari’ah. Di bank Syari’ah, tersedia juga produk KPR Syariah yang transaksinya tidak menggunakan kredit berbunga, tetapi dengan cara jual beli yang halal atau menurut istilah arabnya adalah ‘Bai’ al Murabahah li al Amir bi as Syiraa’.berikut ini sedikit pemaparan perihal dasar hukum murabahah yang kami kutip dari Fatwa Dewan syariah Nasional NO: 04/DSN-MUI/IV/2000 mengenai Murabahah Tersebut.

DASAR HUKUM MURÂBAHAH

1. Al-Qur’an

Firman Allah subhanahu wata’ala,

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ

“padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah: 275)

إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ

“kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS An-Nisâ’: 29)

2. Hadits

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hendak hijrah, maka Abû Bakar radhiallahu ‘anhu membeli dua ekor unta. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya,

وَلِّنِيْ أَحَدَهُمَا، فَقَالَ: هُوَ لَكَ بِغَيْرِ شَيْءٍ، فَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: أَمَّا بِغَيْرِ ثَمَنٍ فَلَا

“Berikan salah satunya padaku, saya ganti harganya!” Abû Bakar menjawab, “Ia milikmu, tidak usah diganti.” Beliau bersabda, “Adapun, tanpa mengganti harganya, maka tidak.” (HR Bukhari dan Ahmad)

Dari Shuhaib radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ثَلَاثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُ: الْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ، وَالْمُقَارَضَةُ، وَخَلْطُ الْبُرِّ بِالْشَعِيْرِ لِلْبَيْتِ لَا لِلْبَيْعِ

“Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqâradhah (mudhârabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Mâjah)

3. Ijmâ’ ulama tentang kebolehan jual beli dengan cara murâbahah. (Ibnu Rusyd, Bidâyatul Mujtahid, Jilid 2, hal 161; lihat pula Al-Kasânî, Badâi’ As-Sana’i, Jilid 5, hal. 220-222)

4. Kaidah fiqih:

اَلْأَصْلُ فِي الْمُعَامَلَاتِ الْإِبَاحَةُ إِلَّا أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا

“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

SYARAT-SYARAT MURÂBAHAH

  1. Pihak bank syari’ah harus memberitahu harga pokok (harga awal) rumah yang dia beli dari pemilik rumah pertama.
  2. Pihak bank syari’ah harus memberitahu margin keuntungan yang akan diambil.
  3. Harga pokok (harga awal) yang dikeluarkan oleh pihak bank syari’ah menggunakan alat tukar yang bisa dihitung.
  4. Akad murâbahah yang dilakukan tidak boleh mengandung unsur riba.
  5. Akad jual beli antara pihak bank syari’ah dengan pihak pimilik rumah pertama adalah akad yang sah.

RUKUN-RUKUN MURÂBAHAH

1. Penjual (Bâi’)
Penjual merupakan seseorang yang menyediakan alat komoditas atau barang yang akan dijual belikan, kepada konsumen atau nasabah.

2. Pembeli (Musytarî)
Pembeli merupakan, seseorang yang membutuhkan barang untuk digunakan, dan bisa didapat ketika melakukan transaksi dengan penjual.

3. Objek Jual Beli (Mabî’)
Adanya barang yang akan diperjualbelikan merupakan salah satu unsur terpenting demi suksesnya transaksi. Contoh: alat komoditas transportasi, alat kebutuhan rumah tangga, dll

4. Harga (Tsaman)
Harga merupakan unsur terpenting dalam jual beli karena merupakan suatu nilai tukar dari barang yang akan atau sudah dijual.

5. Ijab Qabul
Para ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa unsur utama dari jual beli adalah kerelaan kedua belahpihak, kedua belah pihak dapat dilihat dari ijab qobul yang dilangsungkan. Menurut mereka ijab dan qabul perlu diungkapkan secara jelas dan transaksi yang bersifat mengikat kedua belah pihak, seperti akad jual beli, akad sewa, dan akad nikah.

Berikut contoh simulasi KPR Syariah yang terdapat di indonesia kita memesan pada bank Syari’ah agar membelikan rumah yang kita inginkan dari developer atau pemilik rumah. Kemudian pihak bank Syari’ah membeli rumah tersebut dari mereka, lalu bank Syari’ah tadi menjual lagi rumah tersebut kepada kita. Biasanya dengan harga yang lebih tinggi daripada harga beli dari developer/pemilik rumah. Selanjutnya kita membayar kepada bank Syari’ah dengan cara mengangsur.

Dalam bank Syari’ah transaksi yang dilakukan tidak melibatkan bunga, tapi jual beli biasa. Keterangannya adalah bahwa harga rumah dalam bank Syari’ah sudah jelas, umpamanya 324 juta dengan dicicil selama 15 tahun. Maka tiap bulan dia membayar 1.8 juta, tidak berubah ( atau dikatakan dengan cicilan Flat) sampai lunas. Sedang dalam bank konvensional pembayaran tiap bulan disesuaikan dengan naik turunnya suku bunga. Jika suku bunga bank naik, maka kredit yang sudah berjalan pun ikut disesuaikan. Sisa hutang yang masih ada akan dihitung dengan suku bunga baru yang lebih tinggi, akibatnya cicilannya jadi lebih besar.

Oleh karena itu, sistem yang digunakan oleh syariah Islam jauh lebih unggul dan lebih aman, serta tidak ada pihak yang dirugikan. Dan kepada siapa saja yang sudah terlanjur membeli rumah dengan sistem bunga KPR (Kredit Pemilikan Rumah) di bank konvensional bisa memindahkan KPR tersebut ke bank Syariah. Mudah-mudahan Allah membimbing kita kepada jalan-Nya yang lurus.Ingatlah sabda Rasul,

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا لِلَّهِ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ

Sesunggunya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan mengganti bagimu dengan yang lebih baik bagimu.” (HR. Ahmad 5: 363. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Kami yakin kalian pasti bisa kok apalagi yang masih dalam usia produktif, manfaatkan usia kalian untuk mencari keridhoan kepada ALLAH SWT ya. Ingat dan yakinlah siapa saja yang menempuh jalan yang halal, pasti Allah akan selalu beri yang terbaik. Semoga kita selalu terlindungi dari hutang ya kawan-kawan Allahuma aaamiin.