Adrian Asharyanto, Co-Founder dan Chairman Investree. Foto: Investree (diolah)

Insyallah, Fintech Syariah Meluncur Akhir 2016

[sc name="adsensepostbottom"]

Baik, kini tentang Investree. Ini startup Anda, berarti self funding ya?
Di awal iya, tapi sehabis itu pada Juni kemarin kami menerbitkan serie A (saham-red) kami itu dengan Kejora Ventures. Kejora ventures ini yang backup  kami untuk kebutuhan ekspansi sampai 18 bulan ke depan.

Tampilan laman utama Investree. Foto: MySharing
Tampilan laman utama Investree. Foto: MySharing

Jadi, bicara soal jiwa entrepreneurship, kalau kita punya opportunity, saya punya pengalaman puluhan tahun di banking, ingin membuat sesuatu yang, dalam tanda petik bank secara digital. Konsepnya sebenarnya seperti itu kan?  Kita mengerjakan sesuatu yang kita mengerti, tapi dengan deliverables yang berbeda.

Baik, kalau kita melihat model pembiayaan di Investree, ini kan invoice lending ya. Mengapa Anda memilih model seperti ini, apakah karena sebenarnya belum begitu aman pembiayaan p2p lending itu?
Yang kami lakukan, bisa dibilang seperi factoring lah. Ya karena infrastruktur kredit di Indonesia kan belum begitu siap. Biro kredit belum ada. Nanti kalau sudah ada biro kredit, data dan informasi bisa didapatkan dengan lebih baik, bisa saja kami masuk ke model pembiayaan yang lain. Tapi kami juga punya pembiayaan karyawan. Itu potong gaji modelnya.

Kalau yang syariah, rencananya seperti apa nih?
Produknya sama mungkin masih bermodel factoring juga, berbasis syariah tentunya.

Ada Dewan Pengawas Syariah (DPS) seperti di bank?
Tergantung apakah kami nanti mau bikinnya sesuai syariah saja prinsipnya atau full fledge syariah, itu harus kami pertimbangkan, biaya-biayanya seperti apa, dan sebagainya.

Untuk fintech syariah, bukankah sudah ada contohnya seperti Kapital Boost dan Ethis Crowd?
Ya bisa jadi, mungkin perlu ada sharia adviser-nya juga

Model p2p Lending sekarang mulai banyak. Tidak hanya Investree loh!
Ya, tapi kan beda-beda. Ceruknya sedemikian besar, yang ditawakan juga beda-beda. Kami bisa ambil ceruk yang beda-beda juga.  Modalku (fintech p2p lending lainnya–red)  misalnya, mereka mainnya UKM dan mikro, modal kerja. Kalau kami mainnya invoice lending dan pembiayaan karyawan. Pembiayaan karyawan yang selama ini, jika sebuah perusahaan memiliki karyawan cuma 10 atau 20 orang, belum tentu mau dilayani oleh bank untuk pembiayaannya. Nah, kami dengan teknologi bisa!

OJK mengatakan, regulasi fintech direncanakan terbit akhir Oktober. Harapan Anda?
Regulasi itu penting karena kita kan dealing dengan financial produk ya, bagaimanapun perlindungan konsumen itu perlu, aspek risk management perlu, aspek permodalan perlu,  aspek data security. Perlu ada aturan main yang lengkap. Harapannya adalah kami diberi semacam tembok atau ruang gerak. Kami boleh bergerak dalam batasan-batasan ini, sambil kami bisa eksplorasi sesuatu, berkembang terus, sampai pada satu titik, ini harus diregulasi!  Jadi enak, daripada meregulasi sesuatu yang belum clear.

Jika saja keuangan syariah memakai model fintech, apakah bisa berkembang secepat fintech?
Lebih efisien ya, mungkin saja. Di (perbankan-red) syariah itu buka cabang saja makin lama makin mahal, sementara syariah itu kan itungannya industri masih baru jika dibandingkan dengan perbankan konvensional. Sehingga cost based-nya jadi mahal, ke nasabah pun akhirnya harus mahal juga.

[bctt tweet=”Bank syariah harus segera go digital, agar lebih efisien!” username=”my_sharing”]

Apa saran Anda untuk industri perbankan syariah?
Go digital, digitalisasi, membuat proses lebih efisien dengan digital. Dengan menjadi digital ini kan jadinya lebih murah dalam memproses sesuatu, cost based-nya jadi lebih rendah