KOta berkelanjutan dari Arcadis

Jakarta, Kota Tidak Nyaman ke-46 di Dunia

[sc name="adsensepostbottom"]

Survey kota berkelanjutan dari Arcadis menunjukkan, Jakarta berada di sepuluh terbawah alias buruk dan bisa dibilang kota tidak nyaman.

KOta berkelanjutan dari Arcadis

Indeks kota berkelanjutan dunia menampilkan data menarik, kota di negara maju lebih berkelanjutan dibanding negara berkembang dan miskin. Faktor sosial ekonomi menjadi kendala utama sebuah kota untuk dapat menerapkan praktik kota berkelanjutan dengan baik. Ibarat pemeo “Jakarta itu sawah garapan saja”, kota-kota di negara berkembang termasuk kota Jakarta masih difungsikan sebagai ‘sawah garapan’ alias tempat mencari nafkah bukan tempat untuk ditinggali.

Dalam survei yang diadakan oleh Center of Economy and Business Report (CEBR) ini, Jakarta masuk dalam 10 kota tidak nyaman di dunia. Menarik, karena di beberapa kota lainny di Asia seperti Singapura dan Hongkong, tingkat keberlanjutannya malah tinggi. Sedangkan Jakarta, Mumbai, New Delhi, Wuhan, dan Manila termasuk kurang berkelanjutan atau kota tidak nyaman.

Apa penyebabnya? Survey ini menekankan pada beberapa hal, antara lain transportasi. Oleh karenanya tidak heran jika Hongkong, Singapura, dan Seoul mendapat peringkat tinggi kota berkelanjutan. Ada juga faktor yang lebih berfokus pada manusianya, yaitu yang diperoleh oleh Hongkong karena baiknya pendidikan tinggi, harapan hidup, dan luasnya area hijau di kota tersebut.

Kota yang nyaman membuat orang lebih nyaman bekerja hingga menjadi lebih produktif. Survey ini juga menunjukkan demikian, jam kerja  hingga 20% lebih tinggi daripada kota lainnya diperoleh kota-kota berkelanjutan. Sebaliknya, kota tidak nyaman seperti Jakarta membuat penduduknya baik yang menetap maupun komuter kehabisan waktu di jalan daripada di tempat kerja. Di jalan pun seringkali sulit untuk sambil bekerja.

Meski begitu, kota negara maju seperti Hongkong dan Singapura dianggap masih mengabakan sisi manusianya. Ketika pertumbuhan ekonomi dua kota tersebut kian cepatnya, harga properti pun menjadi sangat mahal yang. Penduduk kebanyaka sulit untuk memiliki properti di kota-kota maju ini. Dalam konteks people dalam trilogi people, planet, profit, justeru kota-kota ini, termasuk kota di Amerika Serikat dan Eropa menjadi mengabaikan faktor people-nya. [su_pullquote align=”right”]”Jam kerja hingga 20% lebih tinggi daripada kota lainnya diperoleh kota-kota berkelanjutan.”[/su_pullquote]

John Batten, Global Cities Director, ARCADIS mengatakan people masih menjadi yang terbelakang diperhatikan dalam trilogi keberlanjutan. “Dunia berubah dengan cepat daripada sebelumnya. Pengembangan teknologi, populasi, pertumbuhan, dan emergensi ekonomi global sejati berarti perbatasan antarnegara menjadi kurang relevan. Makanya, kita pun mengenal konsep ‘kota global’ kini. Sayangnya, people belum menjadi konsideran utama bagi kota-kota di dunia”, kata Batten sebagaimana dikutip dari siaran persnya, (16/2).

Batten menambahkan, “Indeks Kota-Kota Berkleanjutan memperlihatkan peluang bagi kota-kota di dunia untuk mengambil kebijakannya. Diharapkan, kebijakan itu akan membuat kota semakin berkelanjutan secara ekonomi, lingkungan, dan membawa kesejahteraan bagi penduduknya”.

Akhirnya, survey yang mencoba membangun 50 daftar dari kota tidak nyaman hingga kota nyaman di dunia ini, Arcadis menyimpulkan bahwa tidak ada kota utopia yang ada di dunia kini. Ya, karena masih tidak berhasilnya para pemimpin kota memnuhi trilogi pembangun keberlanjutan yaitu: people, planet, dan profit.

Kota-kota berkelanjutan 2015 menurut Arcandis adalah:

10 Teratas 10 Terbawah
1. Frankfurt 41. Rio de Janeiro
2. London 42. Doha
3. Copenhagen 43. Moscow
4. Amsterdam 44. Jeddah
5. Rotterdam 45. Riyadh
6. Berlin 46. Jakarta
7. Seoul 47. Mumbai
8. Hong Kong 48. Wuhan
9. Madrid 49. New Delhi
10. Singapore 50. Nairobi