Jangan Budeg!

Tony Rosyid (Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

Pemerintah gak boleh budek! Begitu juga DPR! Dengerkan rakyat. Apalagi bangsa sedang berduka dan rakyat lagi menderita.

Mungkin karena gaji anda besar, project dari negara berlimpah, uang terus mengalir, anda gak merasakan susah. Ngomong sembarangan di tengah rakyat kelaparan. Kendalikan you punya mulut. Jangan tebar sampah di media.

Pejabat maupun elit politik tak boleh ngaco! Bicaranya mesti terukur, baik secara etis maupun manfaatnya. Jangan boros kata. Lebih baik tunjukkan empati dan fokus buktikan kerja.

Saat ini, tak tepat bicara Ibu Kota. Apalagi melakukan tender. Kenapa? Pertama, rakyat tak melihat urgensinya. Jauh dari prioritas di tengah bangsa yang sedang megap-megap ekonominya. Jangan dipaksakan.

Kedua, banyak pihak curiga bahwa project Ibu Kota Baru syarat dengan kepentingan pihak-pihak tertentu. Apakah ada hubungannya dengan investasi politik 2019? Atau malah pesanan investor swasta dan asing? Waktu yang akan membuktikan.

Kecurigaan banyak pihak ini agak logis jika dikaitkan dengan siapa penguasa tanah di daerah yang akan jadi Ibu Kota Baru. Ada sejumlah nama konglomerat yang memiliki lahan “super luas” di lokasi bakal Ibu Kota Baru. Faktor kebetulan, atau sengaja?

Saat hutan disulap jadi Ibu Kota, berapa ribu persen kenaikan harga tanah permeter? Belum lagi kalau dibangun gedung perkantoran untuk disewakan. Project apartemen dan perumahan akan menjadi pundi-pundi kekayaan yang luar biasa besar. Belum project infrastrukturnya. Pasti aduhai. Gak kebayang banyak dan besarnya nilai bisnis di Ibu Kota Baru.

Munculnya nama Ahok sebagai calon kepala otoritas Ibu Kota Baru seolah mengkonfirmasi kecurigaan itu. Skenarionya makin terbaca.

Tak sedikit yang bertanya: apakah pembangunan Ibu Kota Baru adalah bagian dari project balas budi? Atau ada mega skenario di baliknya? Isu ini akan terus muncul setiap nama Ibu Kota Baru terdengar telinga.

Rencana pemindahan ibu kota belum dibicarakan khusus dengan DPR. Tidak hanya dengan DPR, anggaran Ibu Kota Baru juga dalam pengakuannya, belum dibicarakan dengan menteri keuangan. Tapi, gaungnya sedemikian kencang. Dibahas belum, disetujui belum, sudah promosi besar-besaran. Malah mau tender segala. Termasuk promosi Ahok. Ahok lagi, Ahok lagi… Kata publik.

Ahok punya hak di negara ini, iya! Itu clear. Sepakat! Ahok sebagai warga negara punya hak yang sama dengan yang lain. Jangan dikurangi, tapi jangan juga diprioritaskan. Jangan berlebihan mempromosikan Ahok. Bagaimanapun, sosok Ahok telah dianggap “cacat sejarah” . Karena telah divonis pengadilan bersalah dan dipenjara dua tahun. Standarnya adalah putusan pengadilan. Bukan wacana, asumsi dan persepsi.

Bangsa ini punya rasa, logika dan etika. “ngono yo ngono, tapi yo ojo ngono”. Tak perlu merawat kegaduhan terus menerus. Masih banyak sosok lain yang jauh lebih berkapasitas dan berintegritas untuk dipromosikan dalam posisi-posisi strategis. Rafly Harun itu lebih cerdas, pinter dan berintegritas. Tapi malah dicopot.

Saya tidak ada urusan dengan Ahok. Sebagai mantan gubernur, Ahok perlu dihargai jasanya. Apapun itu, ada prestasi yang harus diapresiasi. Ini fair. Rakyat tak boleh menutup mata. Tapi, track record terkait dengan karakter, sejumlah peristiwa, catatan hukum dan psikologi rakyat, khususnya umat Islam sebagai penduduk mayoritas, harus jadi pertimbangan serius jika ingin melihat bangsa ini kondusif kedepan. Ada waktunya nanti saya beberkan analisis berbasis teori-teori sosial dalam kasus ini.

Saol Ibu Kota yang sekarang digaungkan lagi di atas tumpukan mayat rakyat yang diserbu covid-19, sungguh membuat dada rakyat semakin sesak. Nyesek! Orang bilang: itu ngigau! Rakyat tidak saja marah, tapi makin gigih menolak Ibu Kota Baru.

Sudahlah, sesekali bicara pakai hati nurani rakyat. Ini standar berbangsa. Ini ukuran integritas dan etika dalam mengelola negara ini. Rakyat yang mana? Ini pertanyaan konyol yang seringkali diulang-ulang oleh elit politik.

Siapapun pejabat, mesti setiap berwacana dan bicara pakai hati nurani rakyat. Bukan hati nurani investor. Terutama pemodal politik. Apalagi hati nurani ABS (Asal Bos Senang).

Soal Ibu Kota Baru, kuburlah rencana itu. Hanya akan menambah deretan panjang kekecewaan rakyat. Pemilu mengecewakan. UU KPK mengecewakan. Omnibus law mengecewakan. Pengelolaan hampir semua BUMN mengecewakan. Pertumbuhan ekonomi mengecewakan. Sekarang, mau ditambah lagi rencana Ibu Kota. Mekso banget!

Seorang pemimpin dan elit politik akan dicatat oleh sejarah bangsa ini. Apakah pemimpin pusat, atau pemimpin daerah. Pemimpin eksekutif, maupun pemimpin legislatif. Termasuk para pejabatnya. Saat turun, semuanya akan dibuka satu persatu. Tak bisa lagi bisa dipoles dan ditutupi. Saat itulah pemimpin dan pejabat negara akan dinilai sebagai manusia terhormat atau terlaknat. Tinta sejarah akan menuliskannya.

Jakarta, 24 April 2020