Kemiskinan yang Diremehkan

[sc name="adsensepostbottom"]

Menilai kemiskinan hanya soal angka, dinilai menjadi salah satu kesalahan penanganan kemiskinan di Indonesia. Juga, insentif pajak yang belum berpihak pada rakyat kebanyakan.

sebioutlook_360Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) SEBI mengadakan Seminar Outlook 2016, mempertanyakan “Optimiskah Indonesia Mencapai Kesejahteraan 2016 dengan Ekonomi Syariah?”

Dari siaran pers yang diterima MySharing, Rabu (23/12), para pakar di bidangnya urun rembuk soal kesejahteraan dan ekonomi syariah dalam seminar ini. Khusus Sesi Kedua, pengajar STEI SEBI, Hendro Wibowo memoderatori pparan dari Kepala IDEAS, Yusuf Wibisono dan Rendi Saputra, Sekjen Jaringan Pengusaha Muslim Indonesia (JPMI).

Kepala IDEAS, Yusuf Wibisono mengingatkan, dari sisi kebijakan publik, statistik kemiskinan sebenarnya selalu  di-under estimated. Kemiskinan, menurutnya tidak bisa diukur dengan angka. Fakta angka kemiskinan sangat konservatif, ketika angkanya dinaikan sedikit, maka akan melonjak banyaknya.

Pada zaman Orde Baru, meskipun dikatakan pemerintahannya otoriter, nyatanya angka kemiskinan menurun. Saat ini justeru sebaliknya, demokrasi jauh lebih baik, banyak aspirasi masyarakat yang ditampung, bahkan dilaksanakan oleh Pemerintah, namun angka kemiskinan malah naik.

Bagaimana peran pajak? Menurut Yusuf, beberapa kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh Jokowi memberikan beberapa dampak, di antaranya, sebagian besar kebijakan masih bersifat makro, sehingga tidak terlalu berpengaruh pada masyarakat menengah ke bawah.

Yang kedua adalah kebijakan Pemerintah masih berorientasi pada perusahaan besar yang malah mendapatkan fasilitas semisal diskon dalam hal pajak. Hal ini belum terlihat adil sebab perusahaan kecil seperti UMKM yang justru laba tidak pasti dan pas – pasan justru tidak mendapat intensif apapun.

Oleh karena itu, menurut pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEBI UI) ini, dampak selanjutnya adalah, kebijakan ini tidak berpengaruh terhadap pengusaha kecil, padahal kebanyakan dari mereka justru belum mampu memanfaatkan tax planning. Dan dampak yang terakhir adalah, dari kebijakan yang digulirkan ini, belum terlihat sinergi antara pajak dengan ekonomi syariah.

Pasar Domestik
Kesejahteraan Indonesia dipandang dari perspektif bisnis disampaikan oleh Rendi, yang merupakan CEO bisnis KeKe sekaligus sekjen Jaringan Pengusaha Muslim Indonesia. Beliau memaparkan bahwa masalah terbesar Indonesia ada pada perluasan market share, Indonesia gagal mengangkap peluang uang yang keluar dari rakyatnya sendiri.

Ada tiga poin penting yang bisa menjadi titik permasalahan, yang pertama adalah kegagapan mental anak muda Indonesia dalam mengambil kesempatan, artinya gagap bisnis. Yang kedua terletak di regulasi Pemerintah, yang terkadang menghambat proses berjalannya bisnis yang dari awal justru telah ramah lingkungan. Yang ketiga adalah permasalahan berada di sektor keuangan dan yang terakhir adalah sektor politik atau Pemerintahan.