Masyarakat menengah bawah tetap menjadi kekuatan pertumbuhan ekonomi.
Sekretaris Perusahaan Dompet Dhuafa Sabeth Abilawa mengatakan, pembacaan terhadap situasi terkini di Indonesia tak boleh dilepaskan dari alat ukur Gini Ratio. Di tahun ini Gini Ratio Indonesia menurun sebesar 0,397 jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2015 yang sebesar 0,408.
Menurutnya, melalui indikator ketimpangan inilah akan bisa dibaca seberapa efektif peran pemerintah dalam mendistribusikan kesejahteraan kepada kelompok warganya dan kecenderungan keberpihakan pemerintah. “Ada 40 persen kelas paling miskin, 40 persen menengah dan 20 persen terkaya, siapa yang paling banyak menikmati?,” tanyanya dalam Rembuk Republik “Solusi Atas Masalah Ketimpangan Ekonomi”, Selasa (28/2).
Ekonom Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih mengatakan, gini ratio punya implikasi ke tingkat kemiskinan dan pengangguran. Ada korelasi yang kuat, kalau kemiskinan turun, Gini Ratio membaik, pengangguran juga demikian. Namun, penurunan rasio Gini di Indonesia dinilainya belum sehat.
“Ini karena pengeluaran masyarakat yang 20 persen tertinggi yang turun, bukan 40 persen terendah yang naik. Jangan terlena dengan angka Gini yang menurun, ini lebih karena yang atas yang turun dan itu tidak bisa dikontrol. Ketimpangan ekonomi terbesar terjadi di kota, sedangkan ketimpangan di desa relatif stabil,” jelasnya.
Di sisi lain, ia memaparkan, ketika total penghasilan 20 persen masyarakat terkaya naik lima persen, maka pertumbuhan ekonomi turun 0,4 persen. Sementara, jika pendapatan masyarakat yang 80 persen naik, maka pertumbuhan ekonomi juga naik 1,9 persen. “Ini jadi terlihat dimana kekuatan kita, berarti kekuatan kita masih di masyarakat bawah,” cetus Lana.

