Hampir semua koperasi syariah Jatim (Jawa Timur) menghadapi kendala serius yakni krisis SDM yang mumpuni.

Lahirnya program studi (prodi) Ekonomi Islam di berbagai perguruan tinggi di sisi lain ternyata belum memberikan sumbangan berarti dalam memenuhi kebutuhan SDM.
“Selain prodi ini masih baru sehingga lulusannya belum banyak, setelah lulus mereka lebih suka melamar ke perbankan syariah ketimbang lembaga keuangan sekelas koperasi,” papar Sekretaris Pengurus dan Pengawas Pusat Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) Jawa Timur, Ali Hamdan, S.Si MEI ketika ditemui mysharing di kantornya.
Menyadari kondisi tersebut Pusat KJKS bekerjasama dengan Yayasan Yatim Mandiri membuka program Diploma 1 Manajemen Ekonomi Islam. Tujuannya, melahirkan SDM-SDM yang fokus bekerja di koperasi Syariah. Peserta D 1 ini adalah anak – anak lulusan SMU yang selama ini disantuni oleh Yayasan Yatim Mandiri.
“Tahun ini baru dibuka. Peminatnya lumayan, sekitar 21 orang. Adapun pengajarnya dari kami sendiri. Diharapkan mulai tahun depan, sudah ada lulusan yang bisa mengaplikasikan ilmunya di koperasi syariah,” harap Ali lagi.
Kebutuhan akan SDM ini memang mendesak mengingat jumlah koperasi syariah Jatim sendiri terus bertambah setiap tahunnya. Sebetulnya krisis SDM ini bukan hanya terlihat di level kepegawaian. Di bidang pengawasan pun kondisi serupa juga terjadi. Bahkan lebih runyam lagi, karena hingga kini kata Ali, belum ada satu pun Pengawas KJKS di Jawa Timur yang sudah mengantongi sertifikasi.
“Selama ini yang duduk menjadi pengawas adalah dari kalangan tokoh pondok pesantren. Sehingga ketika ditanya konsep syariah mereka sendiri nggak paham. Nah, kalau secara basic saja mereka nggak tahu, bagaimana mereka bisa menjalankan fungsinya sebagai pengawas termasuk memberikan fatwa-fatwa syariah,” kata Ali Hamdan lagi.
Karena itu pihaknya menyambut baik adanya rencana Pemerintah melalui Dinas Koperasi dan UMKM yang bakal mengadakan sertifikasi untuk level pengawas lembaga keuangan syariah di Jawa Timur.
“Insya Allah, dalam waktu dekat ada sekitar 1000 orang yang akan mengikuti sertifikasi pengawas,” ungkapnya.
Di luar kendala minimnya SDM, perkembangan koperasi jasa keuangan syariah (KJKS) juga terganjal belum terbentuknya jaringan online antara koperasi syariah yang satu dengan yang lain. Selain tidak efektif dan efisien, hal itu memudahkan orang yang punya niat tidak baik terhadap koperasi.
Sistem online ini berfungsi sebagai koperasi checking seperti layaknya bank checking yang sudah ada selama ini. Sehingga anggota koperasi yang bermasalah, memiliki tunggakan atau memiliki niatan yang tidak baik akan dapat deteksi lebih dini.
“Misalnya orang yang sudah masuk dalam kelompok kredit macet, karena tidak di back up secara online, maka track record yang bersangkutan tidak terdata dengan baik di koperasi. Akibatnya, ketika dia mengajukan kredit ke koperasi syariah yang lain, bisa saja yang bersangkutan lolos,” ujar Ali memberi contoh.
Sejauh ini pihaknya bersyukur, karena hingga kini kredit macet di lingkungan koperasi syariah masih dalam batas toleransi, yakni tidak lebih dari 5 persen. “Memang ada beberapa koperasi yang kredit macetnya mencapai 10 persen tapi tidak banyak,” ungkapnya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Nomor 35.3/PER/M.KUKM/X/2007 Tahun 2007 mengenai penilaian kesehatan koperasi, maka lembaga keuangan yang dikategorikan sehat nilai kredit macetnya tidak lebih dari 10-12 persen.
Butuh Wadah
Ali mengatakan pesatnya pertumbuhan lembaga keuangan mikro syariah beberapa tahun belakangan disadari belum diimbangi dengan perlindungan yang memadai. Karena itu lembaga keuangan mikro syariah di Indonesia membutuhkan wadah atau asosiasi sebagai pelindung dan pengikat untuk aktivitasnya.
Itulah yang melatari terbentuknya Asosiasi KJKS Jawa Timur pada tahun 2010 yang sekaligus menjadi tonggak awal bagi lembaga keuangan mikro syariah untuk bergerak secara berjamaah. Namun sebuah asosiasi saja dirasa belum cukup, sehingga perlu dibentuk lagi sebuah lembaga formal dan berbadan hukum sebagai pusat pergerakan resmi yang akan menjadi inti dari pengikat seluruh lembaga keuangan mikro syariah yang ada di Jawa Timur.
Beberapa saat kemudian dengan inisiasi 3 lembaga keuangan mikro syariah yang berkedudukan di Ibu Kota Provinsi Jawa Timur yaitu KJKS Harapan, KJKS Manfaat dan KJKS Sari Anas, bersama mendirikan sebuah lembaga resmi bernama PUSAT KJKS Jawa Timur.
Perkembangan selanjutnya lembaga ini dalam aktivitasnya masih terbatas, selain itu pula lembaga ini harus mampu mengenalkan diri kepada lembaga keuangan mikro syariah lain yang ada di seluruh Jawa Timur. Hingga akhirnya pada tahun 2013 ini, Pusat KJKS Jawa Timur sudah beroperasional secara penuh untuk melayani anggotanya.
Saat ini jumlah anggota yang tergabung dalam Pusat KJKS Jatim sebanyak 21 yang berasal dari berbagai kota di Jatim, seperti Lamongan, Bojonegoro, Mojokerto, Pasuruan, Tulungagung, Jember, Nganjuk, Blitar, Trenggalek, dan tentunya Surabaya sendiri.
Seiring berjalannya waktu, penguatan Pusat KJKS Jatim berimbas positif kepada masyarakat. “Setidaknya stigma masyakat terhadap konsep syariah mulai berubah. “Masyarakat mulai melihat lembaga keuangan syariah menjadi alternatif sebagai tempat simpan pinjam, kata Ali.
Yang tak kalah penting, ada kepedulian dari para stakeholder dalam hal ini pemerintah untuk mengembangkan koperasi jasa keuangan syariah di masyarakat. Hal ini tampak dari kegiatan pelatihan yang diadakan terkait pengelolaan manajemen ekonomi syariah.
“Bila sebelumnya kegiatan hanya diadakan tiga bulan sekali, saat ini Pemerintah sudah secara rutin menggelar pelatihan setiap bulan,” paparnya.
Sebelumnya, kata Ali, Pemprov Jawa Timur paling tertinggal dalam hal perannya mengembangkan lembaga syariah. “Padahal kita tahu sendiri banyak pondok pesantren di wilayah ini, provinsi ini juga menjadi basis Nahdlatul Ulama. Tapi kenyataannya, jumlah lembaga keuangan syariah malah relatif kecil,” imbuhnya.

