Kredit Tanpa Agunan dan Bunga, Utopia?

[sc name="adsensepostbottom"]

Kredit tanpa agunan dan bunga terdengar seperti utopia jika membicarakannya di ranah bisnis. Padahal, jika saja kita memiliki modal sosial yang kuat, utang piutang idealnya justeru dengan model KTA, tanpa bunga pula, loh kok?

moneyilus1Ya, karena permintaan jaminan, sederhananya karena tidak adanya kepercayaan antara peminjam dan pemberi pinjaman. Meskipun banyak faktor lain, dalam low trust society, dana nasabah yang dititipkan ke lembaga keuangan adalah amanat. Artinya ketika diminta kembali ya dikembalikan. Selain itu, regulasi negara juga mewajibkan adanya jaminan untuk besaran plafon tertentu.

Namun diskusi kita sebenarnya mengarah kepada gambar besar dari satu aspek mikro dari ekonomi, Kredit Tanpa Agunan. Mungkin utopis atau normatif, tetapi ulasan beberapa terma berikut ini sebenarnya menarik jika dikaitkan dengan Kredit Tanpa Agunan.

Modal sosial populer di tangan sosiolog Amerika, Robert Putnam melalui bukunya, Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community (2000), Putnam mendefinisikan modal sosial sebagai seperangkat asosiasi antarindividu yang bersifat horisontal yang mencakup jaringan dan norma bersama yang berpengaruh terhadap produktivitas suatu masyarakat.

Secara struktural, modal sosial ditopang oleh hubungan sosial, norma sosial, dan kepercayaan (trust). Tiga pilar ini menopang sebuah jaringan dengan norma-norma yang disepakati di dalamnya, oleh para anggota jaringan. Model jaringan bernorma yang contoh menariknya adalah mafia. Ingat aksi legendaris Tony Brasco, agen FBI dalam perang FBI melawan mafia di AS pada 1970-an? Brasco menandai awal baru metode perang melawan kejahatan di AS, ia menyamar masuk ke dalam organisasi mafia. Tidak mudah, seperangkat norma harus ditelannya. Ketika berhasil, aksesnya terhadap jaringan mafia pun terbuka.

Modal sosial mewujud dalam tiap budaya, dalam lingkup bangsa hingga lokus kecil, katakanlah di perumahan tempat Anda tinggal. Ada norma yang harus dijaga, seringkali sederhana, misalnya untuk tidak terlalu lama memarkir mobil di atas aspal di depan rumah, sementara Anda memiliki parkiran sendiri karena selain akan lebih cepat merusak aspal, mengganggu jalan, dan sepertinya Anda egois.

Modal sosial ala Putnam dapat ditemukan juga dalam khasanah Islam. Inilah pokok bahasan singkat kita. Tidak menyebutnya sebagai modal sosial dengan cakupan definisi persis seperti Putnam dan ahli modal sosial lainnya , namun memaknai hubungan antarmanusia dalam kadar yang paling mendasar. Nanti kita akan melihat, bagaimana hal ini memengeruhi prinsip berekonomi secara syariah.

Dalam pembahasan mengenai modal sosial dalam Islam, yang sering dipakai sebagai dasarnya adalah hadits HR Bukhari Muslim berikut ini:

1. “Mukmin terhadap mukmin yang lain seperti bangunan memperkuat satu sama lain”
2. “Orang-orang mukmin dalam kecintaan & kasih sayang mereka seperti satu badan, apabila salah satu anggota badan itu menderita sakit maka seluruh badan merasakannya”

Cukup jelas maksudnya. Dalam perkembangan peradaban Muslim lalu muncullah istilah Takaful Ijtimai atau jaminan sosial. Takaful Ijtimai lebih banyak digunakan dalam penjelasan mengenai asuransi syariah.

Dengan prinsip Takaful Ijtimai, peserta asuransi syariah sepakat agar sebagian dana polisnya disisihkan untuk “lumbung padi” yang disebut dana Tabarru. Ya, seperti lumbung padi, yang ketika paceklik, warga desa yang kesulitan dapat memanfaatkannya.

Namun sebelum sampai kepada dana Tabarru, diperlukan sebuah trust dari antarpeserta asuransi syariah. Trust kepada operator asuransi syariah dan trust antarpeserta, untuk menyisihkan dana tersebut. Suatu model kepesertaan yang tidak lazim dalam dunia asuransi konvensional. Dengan kata lain, trust menjadi driver terciptanya jaminan sosial.

Trust ini pula yang meluntur dalam sistem keuangan mainstream berbasis riba. Riba, yang diciptakan dari udara kosong’, seketika menjadi kewajiban bagi peminjam uang kepada pemberi pinjaman. Jumlah riba bisa jadi lebih besar daripada jumlah uang beredar di suatu negara. Yang artinya, tidak mungkin seluruh riba itu akan terbayar. Yang kemudian terjadi adalah perebutan uang untuk membayar riba yang tidak akan pernah terbayar.

Kredit Tanpa Agunan dan kartu kredit beroperasi berdasarkan riba. Uang dipinjamkan dengan tambahan karena penundaan pelunasannya (time value of money). Sejak kapan, waktu bernilai uang?

Namun bukan berarti Kredit Tanpa Agunan tidak mungkin dalam ekonomi syariah, justeru produk dasar pinjam meminjam uang dalam ekonomi syariah adalah semacam Kredit Tanpa Agunan, loh kok?

Mari tengok ayat berikut ini: “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak” (al-hadid ayat 11)

Ini adalah ayat yang populer digunakan untuk mendasari akad atau skema Qardh al Hassan (pinjaman kebajikan). Dalam Qardh al Hassan, uang dipinjamkan sebesar Rp100 ribu, dikembalikan dalam tenor berapa lama sesuai perjanjian dalam jumlah Rp100 ribu juga. Skema Qardh tidak memberi keuntungan bagi pemberi pinjaman, makanya dalam lanskap industri keuangan syariah Tanah Air, Qardh al Hassan hanya digunakan untuk kegiatan filantropi dan CSR. Dananya pun, tidak diambil dari dana bisnis, melainkan dana tidak halal yang diterima lembaga keuangan syariah, sumbangan nasabah, dan alokasi dana CSR.

Dalam praktik Qardh al Hassan, jaminan tidak diperlukan. Justeru kebanyakan diberikan untuk kaum yang tidak feasible secara finansial, yaitu kaum miskin. Namun ini sangat dimungkinkan karena Qardh mendasarkan diri pada saling percaya. Anda meminjam uang, Anda membayarnya.

Masalahnya, sanggupkah Anda membayarnya? Nah, individu dari kacamata ekonomi mainstream dinilai berdasarkan kemampuan finansialnya. Sekadar berkhayal, hidup di dunia paralel, di mana utang piutang dalam ranah bisnis sekalipun dijalankan dengan skema Qardh ini. Lalu Anda pasti bertanya, pemberi pinjaman bisa mendapat untung darimana? Tanyakan ke ulama, mungkin Sang Ulama akan menjawab, rezeki sudah ada yang mengatur. Maka, menarik pinjaman kebajikan ke ranah bisnis rasanya memang utopia saat kita masih nyaman di dalam sistem ekonomi mainstream. Apa pendapat Anda?