Masjidil Haram, Rahasia Mendapat Pahala Berlipat Ganda

[sc name="adsensepostbottom"]

Rasulullah SAW bersabda : “Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) ini lebih baik dari seribu kali shalat kecuali di Masjidil Haram, dan keutamaan Masjidil Haram atas masjidku ini adalah dengan seratus kali shalat.”

Masjidil Haram adalah tempat shalat paling besar yang mengelilingi Ka’bah yang agung, rumah Allah SWT yang suci. Allah menamakannya Masjidil Haram. Bahkan Mekah dan keseluruhan Tanah Haram dapat disebut sebagai masjidil haram. Ka’bah terletak di tengah-tengah Masjidil Haram yang berada di tengah-tengah kota Mekah, dan Mekah adalah pusatnya Bumi.

Satu shalat di Masjidil Haram, pahalanya sama dengan 100 ribu kali shalat di tempat lain. Satu shalat berjamaah di mana saja, pahalanya 27 kali lipat daripada shalat sendiri. Maka sepulang dari Tanah Suci, hendaklah shalatnya lebih diutamakan berjamaah di mesjid, khususnya lelaki. Agar mabrur umrah dan hajinya.

Masjidil Haram pertama kali dibangun dan diperluas pada masa pemerintahan Khalifah Umar. Selanjutnya masjid ini diperluas lagi pada masa pemerintahan Khalifah Usman, dan semakin diperluas pada masa kekuasaan al-Walid bin Abdul Malik serta pada masa al-Mahdi. Perluasan dan renovasi yang signifikan baru-baru ini dilakukan oleh Kerajaan Saudi Arabia termasuk perluasan di era Raja Fahd, Raja Abdul Azis, Raja Abdullah, dan Raja Salman. Tiap raja yang berkuasa sangat memperhatikan dan berlomba untuk merawat masjidil haram. Karena mereka disebut juga sebagai Khodimul haramain, pelayan dua masjid haram (Mekah dan Madinah).

Satu kali shalat di Masjidil Haram sama nilainya dengan seratus ribu kali shalat (di tempat lainnya). Rasulullah SAW bersabda :

صَلَاةٌ فِى مَسْجِدِى هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ إِلَّا فِى المَسْجِدِ الحَرَامِ وَفَضْلُ المَسْجِدِ الحَرَامِ عَلَى مَسْجِدِى هَذَا مِائَةَ صَلَاةٍ

Artinya:
Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) ini lebih baik dari seribu kali shalat kecuali di Masjidil Haram, dan keutamaan Masjidil Haram atas masjidku ini adalah dengan seratus kali shalat.”

Satu kali shalat di Masjidil Haram sama pahalanya dengan seratus ribu kali shalat di tempat lainnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain :

صَلَاةٌ فِى المَسْجِدِ الحَرَامِ تَعْدِلُ مِائَةَ أَلْفِ صَلَاةٍ

Artinya:
“Shalat (sekali) di Masjidil Haram sama dengan seratus ribu kali shalat (di tempat lainnya)”

Menurut sebagian ulama, bukan hanya shalat yang dilipatgandakan pahalanya sejumlah tersebut, tetapi seluruh amal-amal kebajikan. Pendapat ini dikukuhkan oleh beberapa riwayat, walau riwayat tersebut tidak bersumber dari kitab-kitab yang diakui kesahihannya.

Selanjutnya Nabi Muhammad SAW juga menekankan bahwa shalat di masjid manapun, lebih baik daripada shalat di rumah. Kita tidak dapat menyatakan bahwa shalat yang memperoleh pahala seperti tersebut itu hanyalah untuk shalat yang pelakunya berada pada shaf-shaf terdepan dalam Masjidil Haram saja; sedangkan yang shalat di shaf barisan belakang atau yang shalat di area lain yang masih berada dalam pekarangan halaman masjid tidak mendapatkan pahala tersebut.

Memang, shalat di tempat-tempat tersebut tetap sah secara syarat dan rukunnya, tetapi tidak dapat disangkal bahwa yang shalat di dalam masjid, jika masih ada peluang untuk berada di shaf-shaf bagian depan, maka akan lebih terpuji. Mereka yang berusaha untuk mencapai shaf-shaf di depannya yang masih kosong, telah mengeluarkan upaya yang lebih besar dibanding yang selainnya. Dan kita semua tahu bahwa Allah SWT tidak akan menyia-nyiakan atau mengurangi pahala orang yang telah berupaya. Di sinilah kita harus menyadari riwayat yang menyatakan bahwa:

إِنَّمَا تُؤْجَرُوْنَ عَلَى قَدْرِ نَصَبِكُمْ

Artinya:
Kamu akan memeroleh pahala sesuai dengan keletihan kamu”.

Dipahami bahwa pahala yang dimaksud oleh Nabi SAW itu (1.000 kali di Masjid Nabawi dan 100.000 kali di Masjidil Haram) adalah kadar maksimal. Karenanya, kita tidak dapat menyamakan orang yang shalat di dalam masjid dengan yang shalat di emperan luar, di jalanan dekat masjid dan tempat di luar lainnya karena sebab dan alasan apapun.

Namun demikian, ketika Atha’ bin Abi Rabah ditanya tentang keutamaan shalat di Masjidil Haram, apakah hanya yang di masjid saja atau termasuk seluruh tanah haram. Maka dia menjawab: “Ya, seluruh tanah haram, karena sesungguhnya tanah haram semuanya adalah masjid”. Demikian juga Ibnu Abbas berkata: “Barangsiapa yang shalat di Masjidil Haram atau di rumahnya sendiri (yang terletak di Mekah atau di tanah haram), maka Allah SWT memberi pahala baginya dengan seratus ribu shalat”. Salah seorang tabiin bertanya kepada Ibnu Abbas: “Apakah ini pendapatmu hai Ibnu Abbas, atau dari Rasulullah SAW? Ia menjawab: “Dari Rasulullah SAW”. Ucapan Ibnu Abbas “di rumahnya” dimaksudkan adalah orang yang shalat di rumahnya di Mekah atau di seluruh Tanah Haram.

Semua kebaikan dilipatgandakan di Masjidil Haram yang meliputi masjid itu sendiri, Mekah dan semua Tanah Haram. Demikian juga mengenai dilipatgandakan perbuatan buruk di Tanah Haram. Karenanya, Abdullah bin Abbas lebih suka memilih tempat tinggal di Thaif karena takut perbuatan buruknya berlipat ganda.

Masjidil Haram dinyatakan Allah SWT sebagai tempat yang aman, sebagaimana firmanNya:

فِيهِ ءَايَٰتُۢ بَيِّنَٰتٞ مَّقَامُ إِبۡرَٰهِيمَۖ وَمَن دَخَلَهُۥ كَانَ ءَامِنٗاۗ وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ ٱلۡعَٰلَمِينَ

Artinya:
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (Ali Imran: 97)

Adalah makruh atau tidak dinilai baik untuk membawa senjata ke Mekkah, kecuali bila sangat dibutuhkan, sebagaimana sabda Nabi:

لَايَحِلُّ أَنْ يَحْمِلَ السِّلَاحَ بِمَكَّةَ (رواه مسلم)

Artinya:
Tidak dibenarkan membawa senjata di Mekah” (HR. Muslim)

Jangankan orang baik-baik, penjahat yang datang berlindung di sana pun tidak dapat diganggu sampai ia keluar dari lingkungan masjid, demikian ditegaskan oleh sebagian ulama. Karena itu pula Allah SWT melarang dengan keras pertumpahan darah di Tanah Haram kecuali untuk membela diri :

وَٱقۡتُلُوهُمۡ حَيۡثُ ثَقِفۡتُمُوهُمۡ وَأَخۡرِجُوهُم مِّنۡ حَيۡثُ أَخۡرَجُوكُمۡۚ وَٱلۡفِتۡنَةُ أَشَدُّ مِنَ ٱلۡقَتۡلِۚ وَلَا تُقَٰتِلُوهُمۡ عِندَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ حَتَّىٰ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِيهِۖ فَإِن قَٰتَلُوكُمۡ فَٱقۡتُلُوهُمۡۗ كَذَٰلِكَ جَزَآءُ ٱلۡكَٰفِرِينَ

Artinya:
Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.” (Al-Baqarah 191)

Keistimewaan Masjidil Haram adalah, apabila penghormatan di masjid lain dikenal dengan shalat tahiyat masjid, maka pada dasarnya penghormatan bagi Masjidil Haram adalah thawaf mengelilingi Ka’bah. Shalat tahiyat masjid dilaksanakan jika keadaan tidak memungkinkan untuk melaksanakan thawaf, misalnya terlalu padatnya orang-orang yang melakukan thawaf atau karena khawatir tertinggal shalat wajib, shalat witir, shalat sunah fajar atau karena khawatir tidak dapat melaksanaan berjamaah shalat wajib. Demikian pula, walaupun menurut mazhab Syafi’i tidak dikenal adanya shalat sunnah sesudah shalat Ashar, namun sebagian ulama membolehkan shalat sunnah setelah shalat Ashar demi menghormati tingginya kedudukan Masjidil Haram.