sejarah hari ibu

Mengapa 22 Desember Dijadikan Hari Ibu?

[sc name="adsensepostbottom"]

Karena tanggal itu mewakili momentum kebangkitan gerakan perempuan Nusantara untuk nasionalisme. Bukan pengerutan ke ruang privat seperti lirik lagu “kasih ibu kepada beta”.

sejarah hari ibuRaden Ajeng (RA) Kartini yang ironis. Surat-suratnya dalam “Habislah Gelap Terbitlah Terang” menyuarakan gerakan feminisme yang bahkan ia pun tidak mengenalnya. Kartini ingin perempuan Indonesia maju, mendapat kesempatan belajar, beraktifitas di ruang publik, dan memiliki hak untuk menentukan mau menikah dengan siapa. Protes Kartini terhadap kawin paksa dan poligami kentara dalam karya monumentalnya itu. Namun, akhirnya Kartini menyerah pada budaya, ia menurut perintah ayahnya untuk menjadi istri ketiga dari Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, meskipun tentu saja, ia tidak suka.

Tapi Kartini bukan pemicu gerakan perempuan Indonesia, menginspirasi mungkin. Setelah para pemuda menggelar Kongres Pemuda pada 28 Oktober 1928, para aktifis perempuan yang ikut kongres itu tergerak untuk membuat kongres serupa namun versi perempuan. Lahirlah Kongres Perempuan Indonesia I (22-25 desember 1928). Singkat cerita, tanggal itulah yang kemudian ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia, saat itu oleh Presiden Soekarno sebagai hari ibu melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959. Pemerintahan berganti hingga kini, ketetapan itu tidak pernah diubah dan kita pun memperingati hari Ibu pada tanggal ini.

Soejatin Kartowijono dari Poetri Indonesia, salah satu penggagas dan Ketua Panitia Pelaksana menjelaskan sejarah diadakannya Kongres Perempuan Indonesia I. Dari Wikipedia, “Perjuangan kemerdekaan dan perbaikan hak serta nasib wanita menjadi titik utama dalam hidupku sebagai orang muda… Di bulan Oktober 1928, tepatnya tanggal 28, diadakan Sumpah Pemuda… Pada saat itu pulalah timbul sebuah hasrat di antara kami kaum wanita muda, mengadakan sebuah pertemuan antar-wanita se-Indonesia demi persatuan nasional,” kata Soejatin dalam otobiografinya, Mencari Makna Hidupku.

Kongres berhasil menghadirkan sekitar 1000 peserta. Di kongres yang diadakan di Mataram (sebutan untuk Yogyakarta pada masa itu), dihadiri oleh 30 perwakilan organisasi perempuan dari berbagai latar belakang, di antaranya Putri Indonesia, Wanito Tomo, Wanito Muljo, Wanita Katolik, Aisjiah, Ina Tuni dari Ambon, Jong Islamieten Bond bagian Wanita, Jong Java Meisjeskring, Poetri Boedi Sedjati, Poetri Mardika, dan Wanita Taman Siswa. Mereka kebanyakan berusia muda, beberapa di antaranya belum menikah seperti Soejatin sang Ketua Pelaksana.

Selain Soejatin disebut juga nama lain yang memiliki peran penting, Nyi Hajar Dewantara dari Wanita Taman Siswa sebagai Ketua Kongres, dan Ny. Soekonto dari Wanito Tomo sebagai Wakil Ketua.

Para penggagas sepakat untuk melaksanakan kongres sebagai bagian dari gerakan kebangsaan. Namun gerakan yang kooperatif, agar tidak mengundang represi pemerintahan kolonial Belanda. Bahkan, perwakilan pemerintahan kolonial Belanda diundang dan hadir di kongres. Strategi kooperatif ini diambil agar gerakan perempuan dapat menarik minat wanita priyayi dan terdidik lainnya tanpa mereka harus takut akan ditangkap polisi.

Dan berhasil, Kongres Perempuan Indonesia diadakan lagi pada 1935, 1938, dan 1941. Selama penjajahan Jepang, gerakan perempuan sempat tiarap karena represifnya militer Jepang. Diteruskan lagi setelah masa kemerdekaan. Pada 1950 berganti nama menjadi Kongres Wanita Indonesia (KOWANI).

COLLECTIE TROPENMUSEUM In juni 1950 organiseerde de leiding van de KOWANI (Kongres Wanita Indonesia) in Djakarta een congres dat door alle afdelingen in Indonesië werd bijgewoond TMnr 10000216
Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Juni 1950. Foto: COLLECTIE TROPENMUSEUM via Wikimedia Commons.
Dari “Indonesian Women and Political Islam” oleh Susan Blackburn di Journal of Southeast Asian Studies , Vol. 39, No. 1 , February 2008 disebutkan, topik yang dibahas dalam kongres pertama ini antara lain, pendidikan kaum perempuan, nasib anak yatim piatu dan janda, perkawinan anak-anak, reformasi undang-undang perkawinan Islam, harga diri kaum perempuan, dan kawin paksa dan poligami. Kongres Perempuan Indonesia menghasilkan:

  1. Mengirimkan mosi kepada pemerintah kolonial untuk menambah sekolah bagi anak perempuan
  2. Pemerintah wajib memberikan surat keterangan pada waktu nikah (undang undang perkawinan) dan segeranya diadakan peraturan yang memberikan tunjangan pada janda dan anak-anak pegawai negeri Indonesia
  3. Memberikan beasiswa bagi siswa perempuan yang memiliki kemampuan belajar tetapi tidak memiliki biaya pendidikan, lembaga itu disebut stuidie fonds
  4. Mendirikan suatu lembaga dan mendirikan kursus pemberatasan buta huruf, kursus kesehatan serta mengaktifkan usaha pemberantasan perkawinan kanak-kanak
  5. Mendirikan suatu badan yang menjadi wadah pemufakatan dan musyawarah dari berbagai perkumpulan di Indonesia, yaitu Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). PPPI bertujuan memberikan informasi dan menjadi mediator berbagai perkumpulan perempuan di dalamnya.

Dari Warta Feminis disebutkan, pada Kongres Perempuan Indonesia II di Jakarta, 20-24 Juli 1935, 15 perkumpulan hadir, di antaranya Wanita Katolik Indonesia, Poetri Indonesia, Poetri Boedi Sedjati, Aijsiah, Istri Sedar, Wanita Taman Siswa dan lain sebagainya. Diketuai oleh Ny. Sri Mangunsarkoro kongres kedua menghasilkan:

  1. Mendirikan Badan Penyelidikan Perburuhan Perempuan yang berfungsi meneliti pekerjaan yang dilakukan perempuan Indonesia.
  2. Tiap perkumpulan yang tergabung dalam Kongres ini akan meningkatkan pemberantasan buta huruf.
  3. Tiap perkumpulan yang tergabung dalam Kongres ini sedapat mungkin berusaha mengadakan hubungan dengan perkumpulan pemuda, khususnya organisasi putri.
  4. Kongres didasari perasaan kebangsaan, pekerjaan sosial dan kenetralan pada agama;
  5. Kongres menyelidiki secara mendalam kedudukan perempuan Indonesia menurut hukum Islam dan berusaha memperbaiki kedudukan itu dengan tidak menyinggung agama Islam.
  6. Perempuan Indonesia berkewajiban berusaha supaya generasi baru sadar akan kewajiban kebangsaan: ia berkewajiban menjadi “Ibu Bangsa”.

Pada Juli 1938 digelar lagi Kongres Perempuan Indonesia III dengan diketuai oleh Emma Puradiredja. Pada kongres ketiga ini isu politik perempuan lebih kentara. Perempuan pun menuntut partisipasinya dalam politik, khususnya untuk memiliki hak memilih anggota parlemen (Badan Perwakilan) kolonial.

ajarah hari ibu
Panitia Kongres Perempuan I. Foto: Istimewa

Namun yang tak kalah penting adalah keputusan kongres menetapkan tanggal 22 Desember sebagai “Hari Ibu” seperti yang dimaksud dalam keputusan kongres kedua, 1935. Tanggal 22 Desember merujuk pada tonggak gerakan perempuan Indonesia, Kongres Perempuan Indonesia I.

Nah, Hari Ibu seperti yang dimaksud dalam keputusan Kongres Perempuan Indonesia II, 1935 merujuk pada “Perempuan Indonesia berkewajiban berusaha supaya generasi baru sadar akan kewajiban kebangsaan: ia berkewajiban menjadi “Ibu Bangsa”. Jadi, Hari Ibu pada dasarnya bermakna politis, yaitu perempuan yang sadar akan kewajiban kebangsaan. Bisa dipahami juga semangat jaman pada masa itu memerlukan kewajiban kebangsaan ini.

Nah, jaman berganti, imaji hari ibu kini tentu berbeda dengan yang pernah diperjuangkan pada aktivis gerakan perempuan Indonesia di masa awal kebangkitan nasionalisme. Hari ibu di masa kini sepertinya tersimplifikasi dalam “kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa”.