Menggagas Sukuk BMT

[sc name="adsensepostbottom"]

Sukuk BMT diyakini akan meningkatkan poembiayaan usaha mikro di Indonesia.Untuk menghidupkan kembali wacananya, berikut gagasan tentang sukuk BMT.

sukuk bmt
Ilustrasi BMT

Inisiasi tentang sukuk Baitul Maal wat Tamwil (BMT) sesungguhnya sudah tercetus sekitar lima tahun lalu. Asosiasi BMT Seluruh Indonesia (Absindo) bahkan pada 2011 dikabarkan telah membuat kajian tentang penerbitan tersebut. Menurut rencana, sukuk BMT akan memiliki tenor hingga 10 tahun serta akan digunakan untuk pembiayaan usaha mikro dan pengembangan BMT di Indonesia.

Dalam kurun waktu berjalan, wacana sukuk BMT belum terdengar lagi gaungnya. Di waktu lalu, beberapa pihak meragukan gagasan ini lantaran penerbitan sukukBMT dinilai belum memiliki landasan dan jaminan yang kuat. Namun demikian, hadirnya Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) menjadi momentum yang baik bagi BMT untuk memperoleh legitimasi atas keberadaannya. Terlebih lagi, saat ini BMT telah memiliki lembaga apex.

Koperasi VS BMT
Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju dan negara berkembang sangatlah diametral. Di negara maju, koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar. Dengan kekuatannya, koperasi memiliki posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi, termasuk dalam perundingan internasional.

Di negara berkembang, koperasi dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra pemerintah dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, dalam konteks Indonesia, koperasi kerap dipandang sebelah mata. Koperasi kerap diidentikkan sebagai badan usaha yang dikelola tidak secara profesional, skalanya kecil, dan kerap merugi. Hal ini yang menyebabkan lembaga keuangan seperti perbankan enggan berhubungan dengan koperasi. Hal ini tidak lepas pula dari imej di masyarakat bahwa perbankan cenderung hati-hati dalam mengucurkan pembiayaan, sebaliknya koperasi cenderung mengabaikan risiko.

Keberadaan BMT dalam peta lembaga keuangan di Indonesia dapat diilustrasikan sebagaimana keberadaan koperasi. Di masa lalu, kehadiran BMT memang merujuk pada aturan UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian sehingga status badan hukumnya adalah koperasi. Setelah diterbitkannya UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang LKM, maka BMT kini berpayung hukum pada aturan regulasi ini. Dalam UU tersebut, LKM disebutkan sebagai lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan. Adapun yang dimaksud dengan pembiayaan dalam UU ini adalah penyediaan dana oleh LKM kepada masyarakat yang harus dikembalikan sesuai dengan yang diperjanjikan dengan prinsip syariah.

Sedikit berbeda dengan koperasi yang fokus pada sektor keuangan dan sektor riil. Maka BMT sebagai lembaga keuangan syariah dituntut pula untuk mengemban misi sosial. Keberadaan BMT yang mengusung baitul maal dan juga baitul tamwil menjadikan lembaga ini tidak saja menyediakan jasa berbasis return bearing financing,tetapi juga harus mau menyediakan jasa return free financing dan bahkan charity program.

Potensi sukuk BMT
Sebagai lembaga keuangan syariah terbanyak di Indonesia, BMT berpotensi untuk menyerap likuiditas perbankan syariah untuk nantinya diberdayakan melalui pembiayaan sektor usaha mikro. Survei industri mikroyang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 menunjukkan bahwa sumber permodalan usaha mikro didominasi oleh modal sendiri hingga 80,9%, sumber informal 13,86%, dan sumber formal 5,24%. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku usaha sektor mikro yang mengakses lembaga pembiayaan, termasuk lembaga keuangan perbankan dan LKM, masih sangat kecil. Hal ini sekaligus juga menunjukkan bahwa pembiayaan perbankan terhadap sektor usaha mikro masih sangat kecil dan tidak sebanding dengan kontribusi usaha mikro terhadap sektor usaha dan serapan tenaga kerja di Indonesia.

Mengacu data Kementerian Koperasi dan UKM (2013), usaha mikro sepanjang 2011-2012 memiliki pangsa 99,99% dari sebanyak 56.539.560 unit usaha dan menyerap hingga 90,12% dari total 110.808.154 tenaga kerja. Sedangkan yang masuk dalam kategori usaha besar hanya menguasai pangsa 0,01% dari seluruh unit usaha dan menyerap 2,84% tenaga kerja. Hal ini mengindikasikan bahwa BMT memiliki peluang pasar yang besar. Pasar keuangan mikro di Indonesia masih membutuhkan banyak lembaga keuangan yang ramah untuk melayani sektor usaha mikro. Pada tataran inilah keberadaan BMT diharapkan.

Salah satu opsi logis yang mungkin dilakukan BMT untuk menghimpun dana dalam rangka meningkatkan pembiayaan bagi anggotanya adalah melalui penerbitan sukuk. Melalui kemitraan berupa sukuk linkage program, BMT dapat membidik pasar yang menyasar pada bank syariah sebagai rabbul maal. Dalam konteks ini, sukuk menjadi instrumen yang rasional untuk menjawab isu likuiditas pada LKM syariah. Sukuk dapat berperan sebagai instrumen pengelola lack and excess liquidity. Dengan menjadikan lahan atau bangunan sebagai underlying asset, BMT berpeluang untuk menerbitkan sukuk. Kinerja BMT yang baik dan dan sehat akan menjadi acuan dan pertimbangan bagi bank syariah untuk menjalin kemitraan.

BMT Menjawab Tantangan Global
Sejalan dengan semangat financial inclusion yang digaungkan oleh otoritas jasa keuangan, pengembangan sektor jasa keuangan syariah di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan. Yaitu, dalam membuka akses jasa keuangan syariah secara lebih luas,kemampuan dalam melayani potensi peningkatan kelas menengah, serta kemampuan dalam meningkatkan kontribusi riil sektor keuangan syariah terhadap kebutuhan perekonomian Indonesia.

Selain Bangladesh dan Afganistan, Indonesia diakui sebagai negara dengan aplikasi lembaga keuangan mikro syariah yang memiliki praktek baik. Beberapa pihak bahkan menilai bahwa model BMT di Indonesia adalah contoh terbaik dari keuangan mikro syariah di dunia.

BMT mungkin bisa menjawab harapan atas hadirnya lembaga keuangan yang dapat meringankan beban ekonomi masyarakat dan mendorong munculnya kegiatan kewirausahaan dengan menghadirkan sistem keuangan yang mudah dan tidak memiliki biaya tinggi. Salah satu kegagalan pengembangan usaha pada tingkat mikro adalah riba yang dicerminkan dengan tingginya suku bunga atas pinjaman modal yang terkadang tidak masuk akal secara ekonomi.

Mengutip pendapat Obaikdullah & Khan (2008) bahwa keuangan mikro adalah alat pengentaskemiskinan, maka BMT dapat dikatakan sebagai lembaga yang paling dekat dengan orangmiskin atau yang berpenghasilan rendah. Melalui BMT, orang miskin atau yang berpenghasilan rendah akan terbantu untukmeningkatkan pendapatan rumah tangga, membangun aset, mengurangi kerentanan, menciptakan permintaan atas perbaikan mutu pendidikandan kesehatan serta merangsang geliat ekonomi lokal.

Melalui sukuk linkage program antara BMT dengan bank syariah atau institusi keuangan lainnya, maka ini merupakan bentuk kongkret dari upaya menjawab tantangan bagaimana menjadikan instrumen keuangan Islam dapat bermakna dalam menghubungkan sektor keuangan dengan sektor riil dan bagaimana menjadikan perbankan syariah lebih membumi dan secara substantif dapat membantu kebutuhan ummat. Sukuk BMT merupakan cermin fungsi sukuk yang hakiki, yaitu sebagai alat distribusi kekayaan dan pemerataan. Bagaimanapun juga, mereka yang menjadi anggota BMT umumnya adalah penggiat sektor usaha mikro yang sesungguhnya kelompok mayoritas dalam sektor perekonomian nasional. Sejumlah akad yang diperkenankan dalam ekonomi Islam dapat dimanfaatkan sebagai upaya membuat terobosan pada skim-skim dari lembaga keuangan dan perbankan untuk dapat membantu komunitas-komunitas yang berada dalam BMT, baik yang berupa akad tijarah (komersial) maupun akad tabarru’ (kebaikan). Wallahua’lam bish showab.