Menyingkap Motif Ekonomi di Balik LGBT+

[sc name="adsensepostbottom"]

Artikel oleh: Anto Apriyanto, M.E.I. Dosen Tetap Ekonomi Islam Universitas Muhammadiyah Tangerang, Ketua Harian Komunitas Ekonomi Islam Indonesia – KONEKSI

Tak perlu diragukan lagi bahwa masifnya pergerakan kaum “belok” di Tanah Air dilatarbelakangi kepentingan asing dan dukungan dana yang tak sedikit. Sehingga tak beralasan jika proyek ini identik dengan konspirasi global musuh Islam dalam rangka menghancurkan tatanan kehidupan manusia yang beradab.

Terlebih Indonesia merupakan negara dengan mayoritas umat Islam. LGBT+ (ditulis dengan tambahan lambang plus) dalam tulisan ini dimaksudkan untuk memberi informasi bahwa komunitas laknat tersebut sudah semakin melakukan pengembangan identitasnya, yang dari awalnya hanya LGBT saja kemudian menjelma menjadi LGBTTTQQIAA (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Transeksual, Two-Spirited, Queer, Questioning, Interseks, Aseksual, dan Ally).

Maka sengaja ditulis LGBT+ agar pembaca menjadi lebih waspada dan mudah mengidentifikasi terhadap penyakit menyimpang ini. Sebab jumlah mereka semakin bertambah seiring ditemukannya identifikasi baru atas kelainan yang dialami mereka.  

Problem LGBT+ yang makin memanas hari ini sebenarnya dipicu sejak dua tahun lalu ketika sebuah badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nations Development Programme (UNDP) menjalin kemitraan regional dengan Kedutaan Swedia di Bangkok-Thailand dan USAID untuk mendukung komunitas LGBT+ dengan menyuplai dana tak kurang dari US$ 8 juta atau sekitar Rp 108 milyar yang fokus dikucurkan ke empat negara yaitu Indonesia, China, Filipina, dan Thailand.

UNDP dalam situs resminya pada 12/2/2016 menyatakan bahwa pemberian dana tersebut dimaksudkan untuk memajukan kesejahteraan komunitas LGBT+ serta mengurangi ketimpangan serta marginalisasi atas dasar orientasi seksual dan identitas gender.

Tiga hari berselang pasca-rilis UNDP itu Wapres RI Jusuf Kalla langsung memanggil UNDP untuk klarifikasi sekaligus meminta agar menghentikan aliran dana untuk LGBT+ di Indonesia. Program pendanaan itu diakui UNDP berlangsung dari Desember 2014 hingga September 2017 lalu dengan nama “The Being LGBT in Asia Phase 2 Initiative (BLIA-2).

Tujuannya untuk mendukung kaum LGBT+ mengetahui hak-hak mereka dan memudahkan akses ke pengadilan guna melaporkan pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi atas mereka. Proyek dukungan bagi LGBT+ itu juga dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan organisasi-organisasi LGBT+ di Indonesia untuk secara efektif memobilisasi, menyokong, dan berkontribusi dalam dialog-dialog kebijakan serta aktivitas pemberdayaan komunitas mereka (republika.co.id, 15/2/2016 dan 20/2/2016).

Di awal 2018 ini, dua tahun kemudian sejak pengakuan UNDP membiayai proyek LGBT+, pernyataan Mantan Ketua MK Prof. Mahfud MD di acara ILC di salah satu tv swasta yang membahas topik LGBT-Zina menyebut ada dana ratusan milyar untuk mengegolkan LGBT legal di Indonesia (19/12/2017) digugat oleh para aktivis pro-LGBT+. Spontan saja membuat heboh publik sekaligus menjadi suatu hal yang konyol. Salah satunya datang dari Ade Armando yang mempertanyakan dari mana keabsahan dan validitas data yang disampaikan Mahfud MD tersebut (republika.co.id, 25/1/2018).

Padahal sudah jelas UNDP mengakui secara terbuka kebenarannya dan pernah ditangani Wapres JK untuk dihentikan tegas. Aktivis LGBT+ Hartoyo, delapan hari pasca-rilis UNDP tahun 2016, bahkan menyesali dana tersebut akhirnya distop untuk mereka yang awalnya banyak mereka terima dari Global Fund, Kemensos RI, dan Kemenkes RI selain UNDP (republika.co.id, 20/2/2016). Mahfud MD kemudian menegaskan bahwa apa yang dilakukan UNDP itu telah dilakukan sejak 2014 (kumparan.com, 2/2/2018). Tak ketinggalan Prof. Din Syamsudin pun menguatkan dan mendukung pernyataan Mahfud MD tentang keberadaan dana LGBT+ itu (republika.co.id, 6/2/2018).

Muncul pertanyaan kemudian, apa betul kampanye besar-besaran kaum Sodom “zaman now” ini hanya atas dasar kemanusiaan atau ada motif lain? Sebab fakta menunjukkan sejumlah korporasi besar Amerika bahkan dunia memberikan dukungannya kepada kelompok LGBT+ ini. Nilai beli komunitas LGBT+ di Amerika juga sangat besar dan potensial untuk menjadi incaran pasar. Disinyalir kuat perusahaan-perusahaan besar itu nyata-nyata memberikan dukungannya kepada kelompok LGBT+ bukan semata-mata karena membela HAM, tetapi juga melibatkan ceruk pasar yang cukup menggiurkan.

Tanpa bermaksud promosi, sebut saja misalnya perusahaan layanan jasa kedai kopi Starbucks. Setelah banyak diprotes dan diboikot di hampir seluruh dunia karena dugaan keterlibatan mereka terhadap kezhaliman Zionis Israel terhadap Palestina, merk minuman kopi ini dituduh tidak memberlakukan fair price terhadap petani kopi yang menyediakan bahan baku produk utama mereka, hingga dengan terang-terangan mendukung eksistensi LGBT+ dengan cara turut mengkampanyekan life syle sesat LGBT+ di iklan-iklan promosi Starbucks.

Karena dukungan yang berlebihan itu, di Malaysia, sejak tahun lalu desakan boikot dan pencabutan izin operasional kedai kopi ini sudah terus menggelinding (malaysiakini.com, 2/7/2017). Sayangnya di Indonesia aksi serupa tidak terlalu mengemuka. Selain Starbucks, perusahaan besar dunia yang ikut mendukung LGBT+ di antaranya Nike, Facebook, Google, Apple, Microsoft (detik.com, 2/7/2017), Twitter, PayPal, Nissan, Nordstrom, Adidas, dan Levi’s (tirto.id, 3/7/2017).

Dari segi pasar, sebagaimana dirilis oleh Witeck Communications pada 2013 bahwa kemampuan membeli komunitas LGBT+ di AS mencapai US$ 830 milyar. Pada 2016 angka kemampuan membeli mereka naik menjadi US$ 917 milyar. University of Georgia’s Selig Center for Economic Growth kemudian menempatkan kelompok LGBT+ sebagai urutan ketiga dalam hal kemampuan membeli meskipun tergolong minoritas di AS (tirto.id, 3/7/2017). Hal inilah yang tidak bisa dielakkan dari fakta mewabahnya dukungan kepada para pelaku liwath dan sejenisnya itu. Bisnis yang diraup dari kejahatan terhadap peradaban manusia.

Uang milyaran dolar Amerika di sekitar kehidupan LGBT+ ternyata bukan isapan jempol. Di Indonesia pun penghasilan yang didapat dari bisnis layanan LGBT+ ini cukup fantastis. Pertengahan Mei 2017 lalu saat masyarakat dihebohkan dengan penggerebekan 141 gay dalam Pesta The Wild One di tempat fitnes Atlantis Jaya, Kelapa Gading-Jakarta Utara, ternyata terkuak bahwa dari bisnis haram ini bisa menghasilkan keuntungan bagi pengusahanya di atas Rp 25 juta untuk sekali event (jpnn.com, 22/5/2017). Bayangkan berapa total pendapatan dalam satu bulan dan satu tahunnya! Mirisnya, oleh sebagian pekerja seni isu LGBT+ ini juga dijadikan sebagai karya dan menjadi pengumpul pundi uang buat mereka. Beberapa bulan semenjak UNDP melansir pengakuan pendanaan LGBT+ pada Mei 2016, beredar lagu tentang LGBT.

Meskipun dipelesetkan menjadi Lagi Galau Butuh Transferan dan tidak secara langsung merujuk pada penyimpangan seksual yang tengah menjadi isu, tapi judul lagu itu diyakini ikut mempopulerkan istilah LGBT. Bisa jadi hal ini terjadi karena masyarakat lama-lama memandang LGBT+ sebagai hal biasa dan wajar. Diperhalus bahasanya dari yang sesungguhnya dan parahnya dibuat bahan candaan yang tidak mendidik.

Seringkali latar belakang atau suatu dorongan tertentulah yang menyebabkan manusia melakukan tindakan ekonomi. Hal ini lazim dikenal dengan istilah motif ekonomi. Dalam perkembangan LGBT+ yang cukup drastis ini ditemukan beberapa motif ekonomi dalam praktiknya.

Menyisakan sebuah kepiluan tatkala menemukan fakta bahwa praktik LGBT+ dimulai dari korban yang berasal dari kalangan anak-anak. Dengan bantuan kecanggihan teknologi kasus semacam ini makin hari makin merebak. Subdit Cyber Crime Dittipideksus Bareskrim Mabes Polri dalam patroli cyber-nya pada pertengahan September 2016 berhasil mengungkap kasus prostitusi sejenis yang melibatkan anak di bawah umur.

Yang menjadi korban rata-rata sudah terjerumus cukup jauh dalam dunia perdagangan anak, sehingga banyak yang sulit untuk melepaskan diri. Lantaran sulitnya keluar dari dunia tersebut ditambah desakan kebutuhan ekonomi, membuat para korban akhirnya malah menawarkan diri untuk diperdagangkan kepada para homo sekaligus pedofil itu.

Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengamini dengan menyatakan bahwa penemuan predator seksual online ini bermula dari internet. Ada beberapa siklus yang mereka jalankan sebelum menjerat anak-anak masuk ke dalam dunia prostitusi. Dari mulai menyelidiki si anak, memikatnya, memastikan situasi yang dialami si anak misalnya broken home atau ditinggal pacar sampai melakukan bujuk rayu dengan iming-iming tertentu.

Nanti setelah mendapat kepercayaan si anak yang menjadi target korban, pelaku kemudian menjerat mereka dengan sesuatu yang sangat mereka inginkan. Karena kebutuhan akan biaya hidup yang mendesak akhirnya seorang anak bisa dengan mudah terbujuk untuk melakukan praktik LGBT+, hingga terjadi pelecehan seksual pada anak. Namun tak sedikit yang diakhiri dengan mencampakkan si anak yang telah dinodai itu. Alih-alih bisa lari dari kejahatan ini, seorang anak yang pernah terjerat dan jadi korban pada akhirnya memutuskan untuk terjun ke dalam bisnis prostitusi LGBT+ (detik.com, 15/9/2016).

Seperti pernah terjadi baru-baru ini di Payakumbuh-Sumatera Barat. Awal Januari lalu terbongkar adanya perbudakan seks LGBT pada anak-anak. Berawal dari penangkapan tiga anak jalanan oleh Polisi Pamong Praja, ditemukan data mengenai sejumlah anak jalanan yang masih berusia remaja yang dipaksa melayani nafsu sejenis kaum LGBT+. Dari informasi ketiga anak jalanan tersebut perbuatan menyimpang itu sudah berbulan-bulan dilakukan. Pelakunya dikenal luas sebagai seorang waria yang menjadikan dua anak jalanan sebagai pelampiasan nafsu, dan diiming-imingi tempat tinggal serta uang sebesar Rp 5 ribu. Salah satunya bahkan sudah tinggal serumah selama tiga bulan (harianhaluan.com, 12/1/2018).

Kebutuhan biaya hidup yang menjadi motif ekonomi memang cukup terasa kuat sebagai salah satu alasan perkembangan LGBT+ di Tanah Air. Dalam beberapa kasus lesbian yang terungkap di media, ada perempuan yang menjadi butchy atau femme dalam pasangan lesbiannya dengan tujuan mendapatkan materi (tribunnews.com, 8/4/2014). Ada pula kisah PSK gay di Depok-Jawa Barat yang mengaku sudah pernah melayani 50 homo lainnya dengan tarif Rp 300 ribu hingga Rp 700 ribu sekali kencan. Motif pelaku diakui lantaran kebutuhan ekonomi yang mendesaknya (sindonews.com, 22/1/2018).

Dari semua cerita tentang seksualita kaum Sodom itu terdapat salah satu yang tragis, sebab berakhir dengan pembunuhan. Seperti yang pernah terjadi di daerah Tangerang Selatan-Banten, medio September 2016. Si pembunuh adalah teman kencan korban selama dua tahun terakhir yang tega menghabisi nyawa pasangan sejenisnya karena kesal setelah dikata-katai oleh korban karena menolak berhubungan malam itu. Di hadapan Polisi si pembunuh mengklaim bahwa ia bukan gay tapi karena butuh uang yang selalu diberikan korban usai berkencan sebesar Rp 350 ribu sampai Rp 500 ribu (merdeka.com, 16/9/2016).

Dalam perspektif Islam, terdapat empat istilah fiqh yang terkait dengan pembahasan LGBT+, yaitu liwath (homoseksual), sihaq (lesbian), takhannuts (banci/transgender), dan tarajjul (tomboy). Liwath hukumnya haram.

Ada sejumlah pendapat ulama terkait sanksi perilaku liwath, yaitu dihukum bunuh, dihukum seperti hukuman zina, dan hukuman ta’zir. Dalil yang kuat adalah hukuman bunuh. Bercumbu sesama lelaki yang tidak sampai ada sodomi, atau menyetubuhi anus wanita tidak termasuk liwath meskipun tetap disebut maksiat, sehingga hukuman terhadap dua jenis kriminal tersebut adalah sanksi ta’zir. Sihaq hukumnya juga haram,  tetapi sanksinya tidak bisa disamakan dengan sanksi liwath.

Para ulama sepakat sanksi sihaq adalah ta’zir. Adapun takhannuts dan tarajjul, keduanya juga perilaku menyimpang yang hukumnya haram. Sanksi terhadap dua jenis kriminal itu adalah ta’zir. (Mokhamad Rohma Rozikin, LGBT Dalam Tinjauan Fikih, UBPress Malang, 2017)

Kitab turats klasik yang bisa dijadikan referensi penentuan hukum mengenai LGBT+ di antaranya adalah Dzammu Al-Liwath karya Al-Ajurri, Ad-Da’ Wa Ad-Dawa’ karya Ibn Qoyyim Al-Jauziyah, Dzammu Al-Hawa karya Ibn Al-Jauzi, Al-Kaba-ir karya Adz-Dzahabi, Az-Zawajir karya Ibn Hajar Al-Haitami, Qashashu Al-Anbiya’ karya Ibn Katsir, Nailu Al-Authar karya Asy-Syaukani, Subulu As-Salam karya Ash-Shan’ani, Al-Majmu’ karya An-Nawawi, Raudhatu Ath-Thalibin karya An-Nawawi, Al-Hawi Al-Kabir karya Al-Mawardi, Al-Muhadzdzab karya Asy-Syirazi, Al-Mughni karya Ibn Qudamah, dan Al-Muhalla karya Ibn Hazm. Untuk kitab fiqh kontemporer bisa merujuk pada kitab Fiqhu As-Sunnah karya Sayyid Sabiq dan Al-Fiqhu Al-Islami wa ‘Adilatuhu karya Wahbah Az-Zuhaili.

Oleh karena itu, hukum mengenai LGBT+ hingga mencakup masalah ekonominya adalah jelas haram. Sebagaimana penjelasan An-Nawawi yang menegaskan “…Au istahalla muharraman bil ijma’i kal khamri wal liwaathi…fakulla haadza kufrun…(atau siapa saja menghalalkan sesuatu yang sudah ijma’ haram seperti khamr atau liwath….maka semua ini adalah kekufuran.)” (Raudhatu Ath-Thalibin, juz 10, hlm. 64-65)

An-Nawawi menulis ungkapan di atas pada bab “Riddah” (kemurtadan). Artinya poin-poin yang dirinci oleh beliau adalah hal-hal yang membuat seseorang dihukumi murtad, kafir, dan telah keluar dari Islam. Keharaman liwath memang termasuk perkara yang ma’lumun min ad-din bi adh-dharurah (perkara agama yang telah diketahui hukumnya secara pasti oleh semua orang Islam tanpa ada perselisihan, kesamaran, dan perdebatan) sebagaimana haramnya zina, minum khamr, makan babi, durhaka kepada orang tua, membunuh tanpa haq dan semisalnya.

Pendapat para ulama tersebut tentu berlandaskan Al-Quran dan As-Sunnah. Selain Surat Al-A’raaf: 80-81 dan ayat lainnya terdapat pula banyak hadits yang berbicara tentang larangan LGBT+.  Misalnya hadits dari jalur Jabir bin Abdullah yang berbunyi “Inna akhwafa maa akhaafu ‘alaa ummatii ‘amalu qaumu luuthi, sesungguhnya yang paling aku khawatirkan terhadap umatku adalah perbuatan kaum Luth.’’ (HR. Ibn Majah No. 2563). Atau hadits dari jalur Ibn Abbas yang berbunyi “Laa yanzhurullaahu ilaa rajulin ataa rajulan au imra-atan fid dubur, Allah tidak mau melihat kepada laki-laki yang menyetubuhi laki-laki atau menyetubuhi wanita pada duburnya.” (HR. Tirmidzi No. 1166 dan An-Nasa’i No. 1456).

Oleh sebab itu, dalam pandangan Ekonomi Islam penghasilan dari aktivitas LGBT+ adalah haram sebagaimana haram perbuatannya. Al-Marwazi meriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwasanya “Penghasilan banci adalah kotor, sebab ia mendapatkan uang lewat menyanyi, dan banci tidaklah menyanyikan syair-syair yang mengajak untuk zuhud; namun ia bernyanyi seputar cinta, asmara, atau meratapi kematian.” (Talbis Iblis, 1/281; Majalah al-Fiqh al-Islamy, 4/1923)

Pendapat tersebut sejalan dengan kaidah Ushul Fiqh “Al-wasiilatu ilaal haraami haraamun, sarana yang bisa menyampaikan pada sesuatu yang haram maka menjadi haram pula.(Al-Jazaairi, Al-Qawaaidul Fiqhiyyah, hlm. 502 dan 654)

Senada dengan hal tersebut, kaidah lain menyebutkan, “Wa maa aadaa ilaal haraami fahuwa haraamun, apa saja yang dapat terlaksananya perbuatan haram, maka itu juga haram.” (Izzuddin bin Abdussalam, Qawaid Al Ahkam fi Mashalihil Anam, 2/184 dan Zakariya bin Ghulam Qadir Al Bakistani, Ushul Al Fiqh ‘Ala Manhaj Ahlil Hadits, hlm. 114) 

‘Alaa kulli haal, menyelesaikan problem LGBT+ dengan dalih motif ekonomi sesungguhnya sangat tergantung dari sikap politik pemimpinnya di negara itu. Sebab, adakalanya LGBT+ tidak bisa dibasmi sebagai dampak dari kontrak politik yang dibuat sebelum pemimpin tersebut terpilih secara demokratis.

Tidak boleh dilupakan dari ingatan bahwa kelompok LGBT+ pada Pilpres 2014 lalu, sangat mendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla yang memberi ruang gerak bebas bagi mereka. Diakui Sekjen LSM Arus Pelangi, Widodo Budidarmo, dukungan itu diberikan terkait rekam jejak capres nomor 2 kala itu terhadap kelompok LGBT+, terutama bagi waria.

Semisal, adanya kucuran anggaran dan program kesehatan bagi kelompok tersebut ketika Jokowi menjabat Gubernur DKI Jakarta (kitanusantara.com, 22/1/2018). Seperti lingkaran setan, kemungkaran LGBT+ ini seakan dibiarkan ada. Mereka dikumpulkan, diberi dana pembinaan, didukung eksistensinya, dan diminta suaranya untuk kepentingan politik praktis. Begitu terus alurnya berputar. Masing-masing punya kepentingan yang saling mengikat, khas demokrasi liberal, seraya meniadakan peran Allah sebagai Rabb al-’aalamin.

Hal ini sepatutnya menyadarkan umat Islam Indonesia akan urgensi penguasaan politik-ekonomi yang dibingkai syariat Islam untuk diterapkan secara kaaffah di Tanah Air. Jika umat sudah paham politik ekonomi Islam maka motif ekonomi yang selalu dijadikan dalil pembenaran ‘kaum dhu’afa harta sekaligus iman’ untuk terjerumus ke lembah nista LGBT+ bisa diminimalisir bahkan dilenyapkan habis.

Riilnya, ketika kemiskinan menguji, semua yang mengaku beragama Islam tidak akan melacurkan diri dalam bentuk apa pun yang dibenci Allah dan rasul-Nya karena memahami benar prinsip ekonomi Islam. Maqashid Al-Syariah (tujuan syariat) yang terkandung dalam ekonomi Islam dari mulai hifzhud din (menjaga agama), hifzhul ‘aql (menjaga akal sehat), hifzhun nasb (menjaga nasab keluarga), hifzhun nafs (menjaga jiwa/nyawa), hingga hifzhul maal (menjaga harta), telah mendarah daging dalam pola kehidupan bermasyarakat. Pun dari pucuk kepemimpinan umat, ditunjang oleh kebijakan politik Islam pro-rakyat yang benar-benar semata untuk kesejahteraan bersama.

Semua itu perlu digiatkan agar tidak ada lagi penyalahgunaan kekuasaan untuk mendukung praktik dan eksistensi golongan sesat-menyesatkan yang dengan terang-benderang melakukan kemungkaran. Bahwa umat Islam mentaati firman Allah, “…Dan jangan kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2) [ ]