OJK
Ketua OJK, Muliaman D Hadad memberikan keterangan pers usai peluncuran Roadmap GCG./Foto: OJK

OJK: Menuju Tata Kelola Perusahaan Indonesia Berstandar Internasional

[sc name="adsensepostbottom"]

GCG Penting di Era Easy Money
Menteri Keuangan RI, Chatib Basri, mengatakan penerapan GCG merupakan salah satu instrumen penting untuk menjaga kesinambungan pasar keuangan. Chatib menuturkan investor akan melihat negara bukan dari tangible aset (aset yang terlihat) misalnya apakah negara punya resources, pasar yang besar, sumber daya buruh yang murah. Tetapi yang dilihat adalah intangible asset seperti kebijakan. “Oleh karena itu, di era easy money GCG menjadi penting,” tukas Chatib. Penerapan GCG, lanjutnya, tentu harus pula memperhatikan kapasitas insititusi dan tahapan yang sesuai, sehingga akan berdampak positif bukan hanya bagi perusahaan tapi juga perekonomian nasional. Investor lokal dan asing pun dapat melihat Indonesia sebagai pilihan investasi.

Chatib mengungkapkan masih lekat di ingatan ketika The Fed (bank sentral Amerika) menyampaikan rencana pengakhiran kebijakan quantitave easing (kebijakan bank sentral guna meningkatkan jumlah uang beredar di pasar), pasar modal Indonesia dan nilai tukar rupiah langsung anjlok. Malah ada sejumlah investor yang mengkategorikan Indonesia sebagai Fragile Five, bersama dengan India, Turki, Afrika Selatan dan Brazil. Kebijakan tapering (rencana pengurangan pembelian obligasi dari masyarakat) oleh The Fed itu punya implikasi besar terhadap emerging markets termasuk Indonesia karena menandai berakhirnya era easy money, sehingga pemerintah pun melakukan sejumlah langkah penyesuaian. Hal serupa tidak hanya dialami Indonesia. Negara-negara yang masuk dalam kategori emerging markets juga melakukan banyak penyesuaian terhadap kondisi tersebut.

Chatib menyontohkan bank sentral Argentina yang tidak mampu mendukung nilai tukar peso terhadap dolar membuat regulator mengambil langkah devaluasi mata uang sebesar 30 persen. Turki dan India langsung menaikkan suku bunga sekaligus masing-masing sebesar 425 basis poin dan 200 basis poin, sehingga suku bunga di dua negara tersebut berkisar antara 10-11 persen. “Dalam seminggu terakhir mata uang Turki, Brazil, Argentina, India , dan Afrika Selatan mengalami tekanan signifikan. Tadinya juga dikuatirkan investor akan memberi tekanan terhadap rupiah lebih tinggi tapi dalam seminggu terakhir nilai tukar rupiah stabil di kisaran Rp 12.100-Rp 12.200,” papar Chatib.

Ia juga menambahkan bahwa neraca perdagangan Indonesia semakin membaik, dimana pada kuartal empat 2013 Indonesia mencatat surplus sebesar 2,3 miliar dolar. Catatan tersebut menjadi sinyal yang memberikan kepercayaan diri, tetapi hal itu dinilai Chatib tidak cukup. Menurutnya, isu yang masih menghadang beberapa bulan ke depan adalah neraca modal. Indonesia harus bisa mengantisipasi dan menahan keluarnya modal dari Indonesia ke Amerika.