Penyelamatan Lingkungan Bagian Dari Peradaban

[sc name="adsensepostbottom"]
Rapat Akbar WALHI
Poster Rapat Akbar WALHI 2014

Menghijaukan kembali Indonesia adalah sebuah gerakan budaya dan bukan sebuah proyek semata. Apapun keuntungan yang akan didapat oleh sebuah proyek, jika keamanan lingkungan menjadi taruhannya, proyek itu harus dibatalkan. Semakin beradab sebuah bangsa, kian tinggi pula adabnya kepada lingkungannya.

Demikian tiga pernyataan penting dari orasi Sri Sultan Hamengkubuwono X, yang disampaikan dalam Rapat Akbar Gerakan Lingkungan Hidup, yang dihelat oleh WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) di Stadion Tenis Indoor Gelora Bung Karno, Selasa 11 Maret 2014.

Rapat Akbar tersebut dihadiri oleh sekitar 8000 orang. Sebelum sesi orasi telah digelar secara serentak fun climbing, public stand (pameran, bazar, petisi,), penggalangan donasi publik, dan panggung musik. Rangkaian acara orasi dibuka oleh Upacara adat     Betawi yakni Palang    Pintu, disusul orasi singkat dari setiap 28 Direktur Eksekutif daerah perwakilan WALHI. Seusai orasi Sultan, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Abetnego Panca Putra Tarigan membacakan Platform Keadilan Ekologis, disusul Pemukulan Kentongan dari bahan bambu, yang dalam kearifan lokal dikenal sebagai peringatan tanda bahaya.

Ada lima butir pokok platform tersebut. Pertama, pengembalian mandat negara sebagai benteng hak asasi manusia dengan peran-peran perlindungan, pencegahan, dan promosi. Kedua, penataan ulang relasi antara negara, modal, dan rakyat. Ketiga, penyelesaian konflik sumber daya alam dan lingkungan hidup. Keempat, pemulihan keseimbangan ekologis dan perlindungan lingkungan hidup. Kelima, penyelesaian persoalan utang luar negeri, mengembangkan kemandirian, dan basis perekonomian rakyat.

Sultan mengatakan, dalam mendesain kepemimpinan berbasis kearifan budaya dalam rangka penyelamatan lingkungan, sangat berharap, agar kaum muda pegiat lingkungan yang masih memiliki idealisme untuk menemukan jalan keluarnya. Mengutip buku The Leadership Secret of Colin Powell, Sultan mengatakan, kepemimpinan tidak dapat dijadikan kontes popularitas karena tidak boleh sekedar pencitraan.

Selain orasi kepala daerah dari Sultan yang menjabat sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta itu, muncul orasi dari Walikota Surabaya periode 2000 – 2015, Tri Rismaharini , dan Walikota Bogor periode 2014-2019, Bima Arya Sugiarto.

Ihwal orasi dari kepala daerah itu, Abetnego menjelaskan, Sultan dipandang juga sebagai simbol budaya dan bicara gerakan lingkungan hidup menjadi penting juga untuk bicara gerakan kebudayaan. Pasalnya, pegiat lingkungan Indonesia banyak belajar dari kearifan-kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang, selain, kerusakan lingkungan tersebut pun menggerus kearifan lokal. Meski di Yogyakarta juga ada industri ekstraktif, memberi kesempatan orasi tersebut juga sekaligus untuk meraih komitmen Sultan.

Untuk Walikota Surabaya, Abetnego beralasan, karena banyak terjadi perubahan sejak dijabatnya. Semisal Sungai Brantas yang dahulu kotor, menjadi lebih bersih. Demikian dipandang penting sebagai inspirasi bagi kepala kepala daerah lainnya. Sementara Walikota Bogor, alasan Abetnego, karena sebagai orang muda, ingin didengar komitmennya, juga karena Kota Bogor adalah bagian dari penyangga Jakarta.

Adapun dalam orasinya, Risma lebih banyak memaparkan prestasi dan upayanya mengusung perkembangan kota yang lebih ramah lingkungan. Sementara Bima, menegaskan komitmen untuk Bogor yang lebih ramah lingkungan.

Teks: Heru Lesmana Syafei