Peta Baru Ekonomi Digital (1)

[sc name="adsensepostbottom"]

Dunia sedang bertransisi ke ekonomi digital. Dalam lima tahun terakhir, pemain utama mulai bergeser ke Asia.

ekonomidigitalDalam sebuah penelitian di akhir 2014, ekonomi digital global terlihat mulai bertransisi dominasinya dari Amerika Utara ke kawasan Asia dan Eropa.

Tahun ini, diperkirakan pasar negara G7 dan konsumen di wilayah Asia-Pasifik diperkirakan akan berbelanja online lebih banyak sehingga mengalahkan konsumen di Amerika Utara.

Bagaimana peta ekonomi digital dunia berubah? Jauh dari Silicon Valley d Amerika Utara, Shanghai, atau Singapura, sebuah perusahaan Jerman, Rocket Internet mulai menguasai pasar e-commerce Eropa dan negara berkembang. Dan, ini dinyatakan dengan jelas dalam misi startup ini “Untuk menjadi dunia platform internet terbesar di luar Amerika Serikat dan China”. Banyak seperti “Rocket” startup lain bersiap menjadi Alibaba dan Amazon untuk seluruh dunia, misalnya Jumia, yang beroperasi di sembilan negara di Afrika, Namshi di Timur Tengah, Lazada dan Zalora di ASEAN, Jabong di India, dan Kaymu di 33 pasar di seluruh Afrika, Asia, Eropa, dan Timur Tengah.

Modal bergerak lintas batas, meniru demam ekonomi digital yang pernah terjadi di Silicon Valley pada 1990-an. Selama 2014 saja, USD 3 miliar dituangkan ke sektor e-commerce di India. Dari antaranya tersebut nama inovator lokal India seperti Flipkart dan Snapdeal, pun dengan hampir 200 startup di India lainnya mulai disirami modal oleh para bank dan perusahaan modal ventura.

Menarik, hal ini terjadi di negara yang transaksi daringnya kebanyakan terjadi secara tunai (cash-on-delivery/COD). Kartu kredit atau PayPal jarang digunakan, menurut Reserve Bank of India, 90% dari semua transaksi keuangan di India dalam bentuk tunai. Bahkan Amazon India pun menggunakan pendekatan COD sebagai layanannya. India dan negara-negara berpenghasilan menengah lainnya seperti Indonesia dan Kolombia semua memiliki ketergantungan pada transaksi tunai yang tinggi. Tetapi bahkan di mana uang tunai masih menjadi raja, ekonomi digital berinovasi dengan kecepatan yang luar biasa.

Dari Harvard Business Review, untuk memahami lebih lanjut tentang jenis perubahan ekonomi digital dunia, para peneliti lintas negara dari Fletcher School, Tufts University, Medford, Massachusetss, Amerika Serikat menyusun Digital Evolution Index (DEI) atau Indeks Evolusi Digital. Penelitian untuk indeks ini didukung dananya dari Mastercard dan DataCash.

Indeks Evolusi Digital disusun dari empat pendorong utama: faktor sisi penawaran (termasuk akses, pemenuhan, dan transaksi infrastruktur); faktor sisi permintaan (termasuk perilaku konsumen dan tren, keuangan dan internet dan media sosial); inovasi (termasuk kewirausahaan, teknologi dan pendanaan ekosistem, tren startup dan pola pikir masyarakat); dan lembaga (termasuk efektivitas pemerintahan dan perannya dalam bisnis, hukum, dan promosi ekosistem digital). Indeks yang dihasilkan diambil dari 50 negara yang dipilih karena sebagian besar pengguna internet yang berjumlah 3 miliar saat ini berada di sana.[su_pullquote align=”right”]”Tetapi bahkan di mana uang tunai masih menjadi raja, ekonomi digital berinovasi dengan kecepatan yang luar biasa.”[/su_pullquote]

Dari analisa DEI, Singapura dan Belanda sebelumnya termasuk 10 besar negara terbaik evolusi digitalnya. Tapi ketika dilihat dalam rentang lima tahun (2008-2013) dua negara ini terpisah jauh. Singapura terus maju dalam mengembangkan infrastruktur digital kelas dunia, melalui kemitraan publik-swasta, untuk mendukung ambisinya menjadi hub komunikasi regional. Singapura pun masih menjadi destinasi menarik untuk para startup, pemodal swasta, dan modal ventura.

Sementara, Belanda telah cepat kehilangan momentumnya. Langkah-langkah penghematan pemerintah Belanda dimulai pada akhir 2010 berimbas pada berkurangnya investasi ke ekosistem digital. Dengan kata lain, Belanda kini stagnan evolusi ekonomi digitalnya.