Presiden Tuyul dalam Negara Demokrasi

Dr. Masri Sitanggang (Tokoh #MasyumiReborn)

Jika negara telah terlanjur memilih Presiden Tuyul, didukung mayoritas orang bermental tuyul dan pembangunan pun sudah mengarah ke masyarakat tuyul, masihkah demokrasi dapat mengembalikan ke jalur yang benar? Pintu ijtihad mungkin perlu dibuka, setidaknya pintu darurat untuk penyelamatan!

“Hak saya untuk berpendapat akan saya pertahankan mati-matian, dan hak anda untuk tidak sependapat akan saya bela mati-matian”. Begitu lebih kurang terjemahan bebas kata-kata Voltaire (1694 – 1778), filsuf terkenal asal Perancis. Kata-kata yang oleh banyak orang dijadikan rujukan ketika berbicara soal demokrasi, yang berinti pada jaminan akan hak setiap orang untuk berpendapat –baik yang setuju maupaun tidak, dan penghormatan terhadap hak tersebut oleh setiap orang.

Sayang sekali kita kurang mendapat informasi, dalam konteks apa dan masyarakat bagaimana Voltaire mengemukakan sikapnya itu. Faktanya, banyak orang menjeneralisasi permasalahan dan hanya membayangkan semua yang indah dan harmonis dari demokrasi. Demokrasi dianggap sebagai satu-satunya nilai universal yang terbaik dalam membangun kehidupan bermasyarakat. Pintu ijtihad, dengan sendirinya, tertutup rapat untuk lahirnya suatu teori baru tentang tatanan hidup bermasyarakat.

Bak gelombang sunami, entah karena daya magnet demokrasi yang begitu kuat atau karena ketidakberdayaan menahan arus, banyaklah yang kemudian takluk kepada sistem ini dan mendudukkan setiap orang sama hak dan nilainya kapan dan dimana saja. Tidak ada beda seorang profesor dengan mereka yang tidak tamat Sekolah Dasar, seorang ulama dengan bandit dan pejina atau seorang yang saleh dengan munafiq lagi penghianat. Semua sama, karena begitulah yang diyakini sebagai nilai demokrasi. Setiap pemikiran, apa pun bentuknya, harus diakui eksistensinya. Suara mayoritas adalah penentu. Maka, dalam kata-kata Nurcholish Madjid, tuyul pun harus kita terima sebagai presiden jika ia memang dikehendaki mayoritas rakyat.

Dalam hal mencari kebenaran, diskusi memang harus bebas, terlepas dari tekanan dalam bentuk apa dan oleh siapa pun juga. Setiap orang harus merdeka dan diakui hak kemerdekaannya untuk mengemukakan pendapat dan mendebat dari sisi pandang yang dia yakini. Pada saat yang sama dia harus terbuka pula terhadap pendapat orang lain. Keragaman pikiran dan pandangan yang mengemuka dengan argumentasinya masing-masing akan menghasilkan suatu kesimpulan yang komprehensif, mendekati kebenaran. Prinsip Voltaire dalam urusan ini patut dijadikan pegangan.

Masalahnya adalah, siapa dan dalam urusan apa mestinya seseorang terlibat? Mungkinkah setiap orang berhak terlibat dalam setiap urusan? Pertanyaan ini akan menggiring kita pada jawaban : tidak mungkin ! Dalam urusan yang memerlukan kepakaran, tidak mungkin menyejajarkan (apalagi menyamakan) nilai pandangan (suara) seorang ahli dengan awam atau seorang ulama dengan bajingan.

Justeru adalah lebih baik tidak melibatkan orang awam dalam urusan yang memerlukan kepakaran. Tidak melibatkan orang yang tidak bermoral dalam membangun moral. Tidak melibatkan para pendukung perjinaan dalam urusan memberantas penyakit masyarakat yang bernama perjinaan. Dapat dipastikan diskusi akan berjalan ngawur jika dalam urusan-urusan itu melibatkan dan menghormati para awam atau amoralis. Kalau pun ada kesimpulan, dari diskusi gado-gado itu, maka dia tidak lebih dari kompromi belaka : kompromi antar para ulama, bandit, pakar dan si pandir; atau kompromi antara kebaikan dan keburukan. Dengan kata lain, kesimpulan yang merupakan campuran antara kebaikan dan keburukan, jauh dari kebenaran. Oleh sebab itu, prinsip Voltaire dalam hal ini patut dipertanyakan.

Di bidang politik, di mana kepentingan pribadi-kelompok lebih sering menonjol dari pada maksud mencari kebenaran, penyejajaran nilai suara seorang bandit dengan seorang pakar bisa sangat berbahaya. Dalam suatu masyarakat yang didominasi oleh (orang yang bermental ) bandit, maka penonjolan tokoh dan faham banditisme adalah sangat mungkin dan itu sah saja dilihat dari sisi demokrasi. Maka Nurcholis Masjid benar adanya. Cuma jika ini terjadi, maka “kebenaran”, “pembangunan” dan kata-kata sejenisnya akan kehilangan makna. Kebenaran dan pembangunan macam apa yang dapat diharap dari Presidenn Tuyul kalau bukan kebenaran dan pembangunan versi masyarakat tuyul ? Itulah kejelekan demokrasi.

”Kalau saudara mau menanam padi, selain dipupuk dan diairi, harus disiangi. Rumput-rumput yang tumbuh harus dibersihkan, hama dan penyakit harus dibasmi. Jangan biarkan tikus hidup di situ. Begitulah agar saudara panen padi”. Itulah pesan Allahyarham Mohammad Natsir, mantan Perdana Mentri RI pertama dan pemimpin Partai Masyumi, pada banyak kesempatan. Tamsil itu diungkapkan beliau dalam konteks pembangunan bangsa. Segala sesuatu yang berpotensi mendorong dan mewujudkan cita-cita pembangunan bangsa harus ditumbuhkembangkan; sebaliknya hal-hal yang berpotensi merusak arti pembangunan harus di tekan. Yang demikian itu agar pembangunan berjalan menuju arah yang benar dan berhasil maksimal.

Pengakuan, apalagi penghormatan, terhadap eksistensi segala bentuk pemikiran dan aktivitas yang berpotensi merusak, dalam tamsil Pak Natsir, menjadi sesuatu yang tertolak. Tidak boleh membiarkan tumbuh dan berkembangnya hal-hal yang negatif bersamaan dengan yang positif. Tidak mungkin membiarkan aktivitas perjudian atau aktivitas maksiat lainnya kalau bangsa ini ingin membangun masyarakat yang seutuhnya. Itu adalah hama penyakit yang merusak pembangunan manusia bertaqwa. Dalam kamus ini, tidak ditemukan istilah: biarkanlah semuanya tumbuh bersama-sama, tokh orang akan tahu mana yang benar.

Tidak, tidak ada itu. “Pembangunan ini bukan untuk pembangunan semata-mata”, kata Pak Natsir, “tapi untuk manusia yang mendiami dan menikmati pembangunan itu”. Adalah satu kesalahan mendidik anak-anak di sekolah-sekolah dengan kebaikan, tapi pada saat yang sama “mendidik” mereka dengan hal-hal yang merusak di tengah masyarakat. Membangun dan membiarkan “hama” dan “penyakit” sekaligus, adalah ibarat membiarkan tanaman padi menjadi semak belukar.

Orang pun kemudian meyaksikan bagimana gigihnya Pak Natsir menentang nativisme, kemaksiatan, pernyataan semua agama adalah sama dan menentang kegiatan gerakan kristenisasi yang dikemas dalam berbagai bentuk di Indonesia. Beliau tidak menyerah pada suara mayoritas yang mengikuti arah angin, baik di masa Orde Lama maupun Orde Baru. Dalam buku kecilnya Indonesia di Persimpangan Jalan (1984), Pak Natsir dengan tajam mengeritisi langkah-langkah Pak Harto (Orde Baru) yang dinilainya telah meluncur jauh dari UUD 1945 terkhusus alenia ke-4. Beliau rela dikucilkan pemerintah akibat memperjuangkan keyakinannya sebagai warga negara sekaligus sebagai seorang muslim. Semua ini menunjukkan konsistensinya dalam hal-hal prinsip: rumput, hama, dan penyakit harus di basmi agar pepatah lama “padi ditanam, tumbuh ilalang” tidak menjelma.

Meski tampak berbeda dengan prinsip Voltaire, banyak orang melihat Pak Natsir sebagai demokrat tulen dan menjadikannya sebagai rujukan ketika berbicara mengenai demokrasi di Indonesia. Sindhunata dalam Sakitnya melahirkan demokrasi, adalah satu contohnya. Lalu, demokrasi macam apa yang ingin di bangun oleh Pak Natsir?

Demokrasi untuk pembangunan, bukan demokrasi untuk demokrasi! Click To Tweet

“Demokrasi untuk pembangunan, bukan demokrasi untuk demokrasi !”, kata Pak Natsir. Maka yang dikehendaki adalah demokrasi taat hukum-nilai. Hukum-nilai dasar yang utama adalah filosofische grondslag, landasan falsafah negara, yang merupakan kesepakatan bersama dari semua aliran politik ketika mereka mendirikan sebuah negara. Dalam konteks Indonesia, maka hukum-nilai dasar negara ini adalah Pembukaan UUD 1945, terkhusus alenia ke-4. Itulah filosofische grondslag negara Kesatuan Republik Indonesia.

Persoalannya kemudian adalah, bagaimana jika sebuah negara telah terlanjur memilih Presiden Tuyul (meminjam istilah Nurcholis Madjid), didukung oleh mayoritas orang bermental tuyul dan pembangunan pun sudah mengarah ke masyarakat tuyul? artinya, telah menyimpang dari filosofische grondslag ? Masihkah Demokrasi dapat mengembalikan ke jalur yang benar ? Di sini Demokrasi menunjukkan keraguannya, pintu ijtihad mungkin perlu dibuka, setiaknya pintu darurat untuk penyelamatan !

Wallahu a’lam bishshawab.