Setiap bank syariah memiliki kondisi likuiditas yang berbeda-beda. Salah satu alternatif untuk menjembatani kebutuhan likuiditas adalah melalui repo syariah.

Penyebab pertumbuhan aset perbankan syariah yang melambat belakangan ini pun karena penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) yang rendah. “Jadi bagaimana mau salurkan pembiayaan? DPK lambat karena bagi hasil rendah dan itu juga karena sektor riil tidak bergerak. Bank syariah kan link dengan sektor riil karena itu bank syariah juga ikut turun,” kata Rifki dalam Forum Riset Ekonomi dan Keuangan Syariah 2015, Rabu (29/4). Di sisi lain rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga (financing to deposit ratio/FDR) menurun dan volume transaksi di surat berharga syariah Bank Indonesia dan pasar uang antarbank syariah (PUAS) meningkat.
Rifki menyebutkan ada sejumlah hal yang menimbulkan kebutuhan akan repo syariah. Selain kondisi perbankan syariah yang penuh dengan tantangan tersebut, lanjut Rifki, munculnya kebutuhan repo syariah juga dikarenakan pola hubungan anak-induk dalam pengelolaan likuiditas tidak bisa seluruhnya mengatasi kebutuhan likuiditas bank syariah. “Adanya kewajiban spin off unit usaha syariah menjadi bank umum syariah juga membuat bank syariah harus mandiri mengelola likuiditas,” kata Rifki. Baca: Peluang dan Tantangan Repo Bank Syariah
Hal lainnya yang menimbulkan kebutuhan repo syariah adalah karena bank syariah seringkali memperoleh dana mahal dari PUAS, terutama untuk bank yang tidak memiliki induk ataupun memiliki credit line dan credit limit terbatas. Di sisi lain, bank sentral berupaya mendorong transaksi antar pelaku pasar dan berupaya mengurangi porsi transaksi bank syariah dengan bank sentral maupun UUS/BUS dengan bank induk. “Dengan demikian dibutuhkan alternatif instrumen pengelolaan likuiditas lainnya antara lain instrumen repo antarbank,” ujar Rifki.
Pada mekanisme repo syariah saat ini dilakukan dengan mekanisme bai’ (jual beli) dengan wa’d (janji) membeli kembali. Bank syariah dapat berlaku sebagai penjual dan pembeli. Jika bank syariah melakukan repo surat berharga syariah dan berlaku sebagai penjual, maka bank syariah dibolehkan untuk memberikan janji dalam dokumen terpisah untuk membeli kembali surat berharga syariah negara dalam jangka waktu dan harga tertentu yang disepakati. Baca: Menanti Terbitnya Pedoman Perlakuan Akuntansi Repo Syariah
Jika salah satu pihak tidak menepati janjinya pada saat jatuh waktu (Bank A tidak punya dana untuk membeli kembali atau Bank B tidak memegang surat berharga syariah untuk dijual kembali), maka transaksi pada saat jatuh waktu dinyatakan batal dan transaksi sebelumnya diberlakukan sebagai transaksi jual putus. Rifki menuturkan jika terjadi gagal setelmen memang secara fikih muwa’adah (saling berjanji) tidak mengikat, tapi dalam hukum positif harus ada sanksi karena dikuatirkan ada moral hazard, apalagi kalau ada yang mengalami kerugian.
“Misalnya harga surat berharga syariah negara saat mau dibeli kembali harganya turun, lalu bank yang menjual tidak jadi membeli kembali, maka ia akan kena sanksi yaitu harus membayar kompensasi kepada lawan transaksi dengan nilai transaksi sebesar ketentuan berlaku yang telah disepakati dalam kontrak,” jelas Rifki.

