Dalam evaluasi perkembangan dan profil risiko industri jasa keuangan per bulan September 2014 yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), risiko likuiditas pada perbankan Indonesia dinilai dalam kondisi stabil dan memiliki tingkat risiko relatif rendah. Alat likuid pun cukup memadai untuk mengantisipasi potensi penarikan dana pihak ketiga (DPK).
Kendati demikian, terdapat potensi peningkatan risiko likuiditas sejalan dengan peningkatan rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga (financing to deposit ratio/FDR). “Masih ada ketergantungan terhadap pendanaan non inti serta rasio deposan inti yang masih cukup tinggi,” demikian pernyataan OJK yang dikutip hari ini, Jumat (12/9).
Namun, catatan lain ditoreh industri perbankan syariah yang FDR-nya menurun. Pada Juni 2014 FDR tercatat sebesar 95,5 persen, turun dari catatan sebelumnya yang mencapai di atas 100 persen. Pada triwulan I 2014, FDR perbankan syariah tercatat di kisaran 100-102 persen. Namun, pada triwulan II rasionya menurun menjadi 95,5 persen.
Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Seluruh Indonesia (Asbisindo), Yuslam Fauzi, menuturkan pengalihan pengelolaan dana haji dari bank konvensional ke bank syariah dapat turut menaikkan likuiditas bank syariah. “Tidak seluruh dana haji ada di bank syariah, tapi kalau setidaknya bisa masuk sekitar Rp 30 triliun itu artinya FDR bank syariah bisa turun dan likuiditas tidak menjadi terlalu ketat,” kata Yuslam.
Di bulan lalu, BNI Syariah menerima finalisasi pengalihan dana haji dari BNI. Jumlahnya mencapai Rp 2,2 triliun yang seluruhnya berbentuk deposito. Sementara, Bank Muamalat menerima dana haji dari Kementerian Agama sebesar Rp 1,5 triliun untuk dikelola.
Berdasar Statistik Perbankan Syariah Bulan Juni 2014, aset bank syariah tercatat sebesar Rp 244,1 triliun. Sementara, DPK bank syariah naik 13,14 persen dibanding periode sama tahun lalu. Pada Juni 2013, DPK tercatat sebesar Rp 163,97 triliun, sedangkan pada Juni 2014 mencapai Rp 185,51 triliun. Pembiayaan pun tumbuh 9,84 persen, dari Rp 171,2 triliun (Juni 2013) menjadi Rp 187,8 triliun (Juni 2014).
