Rencana pembangunan infrastrktur membuat Indonesia menjadi pasar konstruksi terbesar di wilayah Asia Tenggara dengan nilai proyek mencapai 267 miliar dolar Amerika Serikat (AS).

Kementerian PUPR, kata Yusid, berharap pada akhirnya pembangunan konstruksi ini tidak hanya akan membawa manfaat pertumbuhan ekonomi bagi negara tapi juga untuk wilayah ASEAN.
Sudah jaman diketahui, bahwa biaya barang dan jasa bergerak di Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Sebuah studi yang dilakukan Bank Dunia menunjukkan bahwa kurangnya infrastruktur telah menyebabkan pertumbuhan Indonesia tertinggal dari anggota ASEAN.
Yusid menuturkan, untuk menutup ketertinggalan, pemerintah menyiapkan strategi, yakni menyederhanakan pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur untuk memungkinkan pelaksanaan yang lebih baik di sektor prioritas. Sektor prioritas meliputi prasarana jalan, transportasi, pelabuhan, dan pasokan listrik.
Kementerian PUPR, lanjut dia, diberi amanat untuk memastikan bahwa semua pembangunan infrastruktur, khususnya pekerjaan umum dan perumahan rakyat, dilaksanakan sesuai rencana. “Bukan hanya karena Indonesia akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) saja, melainkan sudah seharusnya antarsektor saling mendukung dalam membangun sektor konstruksi di Indonesia agar menjadi lebih kuat,” kata Yusid, dalam rilisnya yang diterima MySharing, Rabu (4/11).
Dia menambahkan, pembangunan infrastruktur membutuhkan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan. Termasuk di dalamnya adalah jasa konstruksi, mulai dari pemerintah, Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), penyedia jasa badan usaha milik negara, swasta, asosiasi, lembaga keuangan, hingga badan usaha. Dunia pendidikan juga punya peran untuk membentuk sumber daya masyarakat yang kompeten dan berdaya saing tinggi agar lebih kompetitif.
Bersiap Menghadapi MEA
Pasar terbuka ASEAN seharusnya menjadi kabar baik bagi semua orang. Karena bila diantisipasi dengan benar, potensial membuka akses ke pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat.
Namun, kesempatan besar ini harus diperhatikan dengan seksama. Penyebabnya, potensi pasar yang tak terbatas ini tidak didukung dengan jumlah pekerja sektor konstruksi berkualitas yang ada di Indonesia.
“Kami mencatat jumlah pekerja konstruksi di negara ini sebanyak 7,2 juta. Namun, data LPJKN bulan Agustus 2015, hanya 109.000 ahli yangbersertifikat, 387.000 pekerja bersertifikat, dengan hanya sekitar 478 orang yang memiliki otorisasi untuk bekerja di kawasan ASEAN,” kataYusid.
“Kita bisa disusul Singapura dan Malaysia. Jika kita tidak maju dengan lebih cepat lagi, kita tidak akan dapat merasakan keuntungan dari program MEA yang terintegrasi ini,” tutur Yusid.
Menyambut MEA, Kementerian PUPR akan menyelenggarakan pameran dan forum diskusi bertajuk Konstruksi Indonesia 2015 di JCC, 4-6 November ini, bersamaan dengan pelaksanaan Indonesia Infrastructure Week 2015. Selain meningkatkan jumlah pekerja bersertifikat, forum juga akan membahas isu-isu penting. Di antaranya kesenjangan teknologi, yang menghambat pengembangan sektor konstruksi berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Forum ini wajib dihadiri oleh semua pemangku kepentingan di sektor konstruksi karena menghadirkan berbagai pembicara untuk berbagi pengetahuan tentang teknologi terbaru dan praktik terbaik. Forum akan menampilkan teknologi konstruksi terbaru berfokus pada “Menggerakkan kesiapan dan mengembangkan jaringan industri konstruksi untuk menyelesaikan agenda infrastruktur prioritas pemerintah”.
Kementerian PUPR juga akan menggelar Construction Tech Indo (CTI) 2015, konferensi yang disediakan khusus untuk para ahli teknologi konstruksi dari sektor swasta serta pemerintah pusat dan daerah. CTI untuk mempromosikan studi kasus terbaru, informasi teknologi, dan praktik-praktik terbaik untuk mendukung sektor konstruksi yang tengah berkembang pesat di Indonesia.
“Mengembangkan jaringan kerja yang produktif untuk membentuk masa depan industri kontruksi di Indonesia. Kita memerlukan perspektif dari berbagai pemangku kepentingan untuk melakukan agenda infrastruktur prioritas pemerintah dan mempersiapkan diri untuk menghadapi liberalisme perdagangan barang dan jasa,” pungkasnya.

