ojk

Sinergi OJK dan Muhammadiyah Kembangkan Keuangan Inklusif

[sc name="adsensepostbottom"]

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menawarkan Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) PP Muhammadiyah sistem layanan keuangan tanpa bertatap muka dengan orang perbankan di bank atau branchless banking sebagai strategi dari financial inclusion (membuka kemudahan akses bertransaksi keuangan). MEK bisa menjadi agen informasi sistem layanan keuangan tersebut, dan bisa menjadi agen kepanjangan tangan dari pihak perbankan di daerah-daerah.

ojkDeputi Komisioner OJK Mulya E Siregar, mengatakan, financial inclusion sudah dicanangkan beberapa waktu lalu, sebagai program dari Negara-negara anggota G-20 dan Indonesia termasuk sebagai anggota G-20. “Pada tahun 2009, di Pitsburgh Summit telah diagendakan, bahwa pembahasan mengenai financial inclusion dan negara-negara anggota yang hadir pada Pitsburgh Summit  untuk meningkatkan akses keuangan bagi masyarakat miskin di negara-negara berkembang. Kemudian, diikuti pada tahuan 2010, G-20 telah mengeluarkan “12 Principal for Inovating Financial Inclusion” sebagai pedoman bagi anggota  Negara-negara G-20,” ujar Mulya. Dengan adanya “12 Principal” tersebut pun telah menjadi acuan bahwa di berbagai negara, seperti India, Pakistan, Kenya, dan Nigeria, sudah berlangsung  financal inclusion yang menggunakan branchless banking dan menggunakan layanan keuanga digital.

Mulya menilai saat ini masyarakat Indonesia membutuhkan sistem keuangan financial inclusion. Alasannya, jumlah penduduk miskin di Indonesia yang masih tinggi mencapai 11,46% dan kurangnya peran masyarakat dalam menunjang perekonomian. Faktor kemiskinan itu pun berpengaruh kepada kemampaun menabung atau berinvestasi karena memang produktifitasnya rendah.

”Kalau kita melihat di ASEAN un-bank people (masyarakat tidak paham dengan jasa keuangan perbankan) Indonesia berdasarkan hasil survey dari World Bank (Bank Dunia) sekitar 47%. Ini ada korelasi antara jaringan kantor dengan tingkat Loan Gross Domestikc Product  Ratio atau LGDPR sebuah negara,” tegas Mulya. Ia menuturkan, di Indonesia, angka LGDPR sebesar 32%, jauh tertinggal dengan angka LGDPR di Malaysia sekitar hampir 100%. ”Artinya, jangkauan lembaga keuangan kepada masyarakat di Indonesia masih rendah,” tukasnya.

Selain itu, Mulya menilai masih adanya financial literacy atau ketidak pahaman masyarakat terhadap lembaga keuangan. ”Tentunya, kecenderungan orang Indonesia saat ini masih suka bertransaksi secara tunai atau tidak percaya kalau tidak menggunakan uang tunai. Kemudian, merasa kalau menabung uang di bank itu, lebih aman disimpan atau uang dibelikan untuk barang dan emas serta properti. Kalaupun ingin meminjam uang, merasa tidak perlu pergi ke lembaga keuangan tetap lebih mudah dan cepat ke saudara atau pegadaian serta rentenir,” ucapnya.