Teater Gandrik merupakan salah satu kelompok teater kontemporer ternama dan legendaris Indonesia yang mampu mengolah bentuk dan spirit teater tradisional dengan gaya pemanggungan modern.

Didukung Djarum Apresiasi Budaya, Teater Gandrik kembali menampilkan lakon terbarunya di atas panggung dengan judul Tangis. Pementasan ini berlangsung di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta pada tanggal 11 – 12 Februari 2015 dan di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta pada tanggal 20 – 21 Februari 2015 mendatang.
Teater Gandrik, dengan semangat guyon pari keno, mengkritik dengan guyonan yang mencerdaskan dan ditampilkan dalam pementasan Tangis kali ini. Di samping mendapat inspirasi dari peristiwa mutahir yang terjadi di republik ini, Tangis juga merupakan adonan baru dua naskah akhir tahun 1980an karya alm. Heru Kesawa Murti, yaitu Tangis dan Juragan Abiyoso.
Dari bentuk pemanggungan (artistik), pertunjukan kali ini menghadirkan pilihan baru. Tangis yang mulanya diinisiasi sebagai pertunjukan dramatic reading, seperti menemukan jalannya sendiri sebagai teater rakyat yang interaktif.
Tidak sekedar menuntut tepuk tangan dan celetukan penonton yang tergerak karena disentil tema pertunjukan, namun penonton dipaksa terlibat di dalam masalahnya. Di belahan lain bumi, bentuk-bentuk macam ini disebut sebagai “Teater Penyadaran” yang dipopulerkan oleh Augusto Boal. Tentu saja Gandrik tidak bepretensi mengadopsi Boal, namun semata-mata menyusuri perilaku kreatif. Dan Teater Gandrik sungguh berbahagia jika para penonton dan penikmat seni, yang adalah bagian penting dari seni pertunjukan Indonesia, menjadi saksi pencarian organik ini.
“Sudah sejak lama air mata menjadi senjata berbagai rupa, mulai dari trik mendapatkan iba, hingga pintu masuk mendapatkan jabatan. Di dunia politik republik ini, tangis tak jarang diumbar ke publik, dihadapkan ke kamera infotainment, dan bahkan wartawan politik sekalipun bentuk tanggungjawab (palsu) kepada konstituen yang diwakilinya. Moral seperti ini bagaikan virus yang mudah menular karena hasilnya sungguh ciamik. Lumayan, usahanya ringan, dan untungnya banyak,” ujar Butet Kartaredjasa.
Pementasan ini berkisah tentang Sumir, atau hantu Sumir, yang menghantui setiap denyut perusahaan Batik Abiyoso. Konon, ia yang bukan siapa-siapa, tiba-tiba meroket kariernya. Namun lenyap seketika sejak memimpin demo buruh batik. Tak ada yang tahu kemana perginya, atau barangkali sengaja dihilangkan.
Sementara itu, perusahan Batik Abiyoso semakin hari semakin terpuruk karena praktek ngemplang para pemesan, yang tak lain adalah kaki-tangan partai dan perpanjangan tangan korupsi di pemerintahan. Batik-batik pesanan urung dibayar, padahal hutang di bank telah menumpuk untuk membiayai proses produksi. Praktek ini terus berulang dan perusahaan Batik Abiyoso tak kunjung kapok. Namun, memang begitulah rantai korupsi, sambung-menyambung sulit diputus, dilakukan secara terstruktur-masif-terencana.
Tragedi besarpun terjadi ketika Pak Muspro, sahabat Juragan Abiyoso, kepala pemasaran perusahaan Batik Abiyoso ditemukan gantung diri. Perusahaan batikpun goyah, cerita-cerita lalu dan rahasia perusahaan yang telah lama terpendam bermunculan.
Kematian Pak Muspro menggelar dengan gamblang rapuhnya perusahaan batik dan kejelekan Juragan Abiyoso. Mental para buruh jatuh dan mengutil di setiap ada kesempatan, mandor Siwuh menjadi penjilat yang piawai, dan keuangan perusahaan amburadul tidak karuan.
Pangajap, anak Juragan Abiyoso, yang hobinya kelayaban dan bersenang-senang tidak peduli dengan apa yang terjadi. Dia hanya tahu bahwa dia berhak atas jabatan yang ditinggalkan Pak Muspro.
Drama ‘Tangis’ pun dimulai, demi mendapatkan jabatan, Pangajab membuat persekongkolan untuk memperburuk kinerja perusahaan yang sudah dipegang oleh Prasojo, anak almarhum Pak Muspro. Ia membuang harga dirinya dengan berlatih menangis, menjadikan tangis sebagai senjata ampuh menyentuh hati ayahnya. Dibantu Siwuh, Pangajab melaksanakan seluruh rencananya itu.
Namun sebelum semua hal terwujud, Juragan Abiyoso meninggal dalam kekecewaan dan ketakutan masa lalu. Sedangkan Ibu Abiyoso menjadi gila dan Pangajab masuk penjara karena membunuh teman persengkokolannya. Perusahaan batik ambruk, dan yang tersisa hanyalah tangis. Dan Sumir, atau hantu Sumir, muncul kembali dalam tangis, sebab ia baru menyadari bahwa Pak Dulang, ayah angkatnya, telah menanamkan benih dendam pada Juragan Abiyoso sejak Sumir masih bayi.
“Tangis ini merupakan produksi Teater Gandrik yang telah kami persiapkan selama kurang lebih enam bulan dan merupakan penggabungan dari dua naskah karya alm. Heru Kesawa Murti yang ditampilkan secara lebih modern dengan menghubungkan peristiwa yang terjadi di tanah air kita ini, namun tetap dikemas dalam guyonan budaya Jawa yang kental dan menghibur. Semoga para penonton dapat mengambil makna yang berusaha disampaikan dalam lakon ini untuk tidak menggunakan cara yang tidak bermoral dalam menghadapi suatu masalah kehidupan,” ujar Djaduk Ferianto.
Sementara itu, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation – Renitasari Adrian mengapresiasi dengan sangat positif pementasan lakon terbaru dari Teater Gandrik ini.
“Butet Kartaredjasa, Djaduk Ferianto terus menampilkan karyanya dalam beragam bentuk, seperti sandiwara profesional yang berorientasi pada kesenian rakyat di Indonesia untuk diangkat dan digarap dengan pendekatan teater modern melalui Teater Gandrik. Para seniman ini secara konsisten menghadirkan beragam pertunjukan yang tidak hanya menghibur, tetapi mengedukasi dengan mengangkat persoalan aktual yang sedang terjadi baik kultural, sosial, maupun politik. Keberaniannya dalam mengeksplorasi ide kreatif dan menampilkannya dalam karya seni merupakan bentuk upaya melestarikan seni pertunjukan Indonesia yang harus kita dukung dan apresiasi,” ujar Renitasari.
Tangis dipentaskan di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta pada tanggal 11-12 Februari 2015 pukul 20.00-22.30 WIB dan pementasan kedua akan diadakan di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta pada tanggal 20 – 21 Februari 2015 mendatang pukul 20.00-22.30 WIB.

