Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menyatakan mendukung Gerakan Nasional Non-Tunai. Namun lembaga ini menyatakan, bahwa transaksi tunai seharusnya tidak boleh ditolak!
Menurut Ketua BPKN – Ardiansyah, tindakan penerapan kebijakan Bank Indonesia (BI) sebagaimana tertuang dalam PADG No.19/10/PADG/2017 Tanggal 20 September 2017 mengenai pembebanan biaya untuk isi ulang uang elektronik kepada konsumen kurang tepat.
”Bahwa kebijakan BI ini tidak sejalan dengan tujuan nasional GNNT dan jelas tidak adil bagi konsumen. Substansi tersebut cenderung mengedepankan kepentingan dunia usaha perbankan,” ujar Ardiansyah kemarin (25/9/2017) di Jakarta.
Kebijakan BI tersebut, lanjut Ardiansyah, menyebabkan ketidakadilan bagi sebagian konsumen, khususnya masyarakat yang mengisi ulang di atas Rp. 200.000 pada bank/lembaga penerbit atau mengisi ulang pada merchant atau bank/lembaga non penerbit. Konsumen seharusnya mendapat insentif dan bukan disinsentif dalam pelaksanaan program cashless society.
“Seharusnya beban dari pengunaan uang elektronik tidak dibebankan kepada konsumen, justru sebaliknya pemerintah memberikan kemudahan-kemudahan dan pilihan kepada konsumen. Program Pembayaran Non Tunai harus dijalankan dengan tidak mengurangi nilai dana yang dimiliki konsumen dibandingkan dengan transaksi tunai. Harus dipahami bahwa program transaksi elektronik sendiri sudah memberikan banyak keuntungan, baik bagi Pemerintah, perbankan, dan penyedia barang dan jasa,” papar Ardiansyah panjang lebar.
BPKN sendiri, lanjut Ardiansyah, memberikan rekomendasi tersendiri khusus masalah transaksi non tunai ini yang disampaikan kepada Gubernur BI No.10/BPKN/9/2017 tertanggal 22 September 2017, bahwa pertama, kebijakan e-money perlu mempunyai daya jangkau terapan jauh ke depan, dan tidak cepat obsolete.
Kemudian kedua, kebijakan e-money perlu mengarah kepada efisiensi dan kepraktisan sebagai alat transaksi masyarakat, termasuk integrasinya dengan kartu-kartu lain yang berfungsi sejenis.
Berikutnya ketiga, terkait dengan pengaturan Top-Up e-money, diharapkan konsumen tetap memiliki alternatif akses pada Top-Up tidak berbayar dan berbayar sebagai berikut : -Bebas biaya bila isi ulang dilakukan pada Bank, Lembaga Penerbit, dan/atau afiliasinya, -Pembebanan biaya dapat dikenakan seringan mungkin agar tidak membebani masyarakat apabila dilakukan melalui merchant atau bukan melalui, Bank, Lembaga Penerbit, dan/atau afiliasinya.
Selanjutnya keempat. pada setiap transaksi di wilayah NKRI, konsumen terjamin tetap memiliki akses pembayaran tunai, sesuai Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang masih berlaku.
Dan kelima, semua bentuk pengaturan mengedepankan kepentingan dan keadilan bagi konsumen, termasuk pengaturan aplikasi uang elektronik pada transaksi jasa jalan tol.
“Bank Indonesia diharapkan untuk lebih pro aktif mengantisipasi perkembangan dinamika transaksi elektronik (e-commerce) yang terus meluas saat ini dan ke masa depan, bagi keadilan dan perlindungan konsumen. Pola transaksi masyarakat tengah berubah dengan cepat, regulasi perbankan harus mampu mengimbanginya. Regulasi yang bersifat tidak adil bagi konsumen, pragmatis, berorientasi jangka pendek atau hanya berpihak pada dunia usaha pasti cepat tertinggal (obsolete). Jika ini terjadi, maka bukan hanya jasa perbankan nasional ditinggalkan oleh konsumen, namun lebih dari itu kedaulatan jasa keuangan nasional terancam,” demikian pungkas Ardiansyah, Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

