Pemanasan global kian mengancam, krisis keuangan pun begitu. Makin pintar manusia, makin maju peradaban, makin besar juga ancaman terhadap kehidupan. Untungnya, manusia selalu dapat menyesuaikan dengan keadaan, bahkan selalu menemukan cara mengatasi masalahnya. Dan, itu kebanyakan berkat sains.

Astrolab buatan Bangsa Persia dari Abad ke-18. Digunakan untuk banyak keperluan astronomi oleh para ilmuwan Muslim masa itu. Kini tersimpan di Whipple Museum of the History of Science in Cambridge, Inggris. Foto: Wikimedia.
Di kian majunya sains saat ini, muncul pertanyaan menggelitik, apa sumbangsih dunia Islam terhadap sains? Bukan bicara tentang masa-masa Andalusia di abad pertengahan, tetapi kini, abad 20 dan 21.
Dunia Islam memberi sumbangan kepada dunia sains. Beberapa di antaranya, termasuk yang terkini adalah ketika kimiawan asal Mesir, Dr. Ahmed Zewail memenangkan hadah Nobel pada 1999. Di luar yang sudah dilakukan Dr. Ahmed Zewail, banyak ilmuwan Muslim telah mengontribusi kepada pengembangan sains. Namun, kebanyakan tidak begitu terdengar.
“Atau malah tidak begitu signifikan”, tulis Haroon Cambel, seorang kolumnis di OnIslam.net. Haroon pun berani menyimpulkan, “Kontribusi kita kepada peradaban kini tengah dipertanyakan, di tengah tuduhan yang sering ditimpakan kepada kaum Muslim, tidak begitu tertarik kepada sains dan teknologi. Hal ini yang memaklumkan minimnya dana untuk penelitian dan pendidikan di banyak negara Muslim.
Haroon mengisahkan salah satu dialognya dengan Dr. Syed Imtiaz Ahmad dari Pakistan pada 2000. Dr. Syed Imtiaz Ahmad, adalah seorang Pedikiatris dan Neonatologis, pada the National Institute Of Child Health (N.I.C.H), Karachi, Pakistan. Ahmad mengemukakan pandangannya tentang peran Muslim pada ilmu pengetahuan, sains, dan perkembangan peradaban Muslim itu sendiri.
Ahmad mengulang kemajuan peradaban Islam sebelum masa Renaisans. Selama periode itu, kontribusi Muslim diberikan pada setiap lapangan sains, dari biologi hingga astronomi. “Pengaruh sains dan teknologi pada peradaban Muslim telah diakui sebagai kontribusi dunia Islam terhadap dunia di masa pra Renaisans, mempercepat Renaisans setidaknya dalam 100 tahun di Eropa,” kata Ahmad.
Meskipun begitu, hari ini kita melihat banyak rintangan dihadapi dunia Islam untuk mengembalikan keadaan seperti masa Renaisans. Salah satu rintangan yang kerap didiskusikan adalah adanya fakta bahwa bahasa negeri-negeri Muslim belum dimodernisasi, menyebabkan sulitnya memahami jargon-jargon bahasa pengetahuan masa kini dengan bahasa Arab.
Ahmad mengatakan, “Saya melihat dari riset yang saya lakukan, saya melihat tulisan para sarjana Muslim, kata-kata yang digunakan terkait sains harus dipertanyakan relevansinya. Saya sendiri tidak begitu yakin tentang ini, tampaknya para sarjana itu miskin budayanya dalam bidang sains dan teknologi”.
Ahmad meyakini, bahwa ini bukan masalah pada masa awal peradaban Islam, dengan adanya sumber Alquran yang menjelaskan konsep sains, dan Alquran disampaikan dalam bahasa Arab.

“Para ilmuwan Muslim saat itu dengan mudah memahami sains, meskipun dijelaskan dalam bahasa Arab,” kata Ahmad.
Rintangan lainnya adalah masalah keuangan. Karena minimnya ketertarikan kepada dunia sains, pemerintahan negara-negara Muslim tidak banyak mengucurkan dana untuk pendidikan dan penelitian.
Akhirnya, banyak para ilmuwan Muslim yang memiliki pemikiran untuk bermigrasi ke negara Barat, di sana mereka cenderung lebih mudah mendapatkan dana riset atau mengejar beasiswa untuk meningkatkan pendidikannya. (Bersambung ke Angka Nol, Sains, dan Ilmuwan Muslim)

