M Fany Alfarisi (kiri) berfoto bersama Finalis Forum Riset Ekonomi dan Keuangan Syariah 2015, Rabu (29/4).

Bagaimana Jika BSM dan Bank Muamalat Merger?

Pemerintah mewacanakan merger antara anak usaha bank BUMN. Namun, ada pemikiran berbeda mengenai merger bank syariah yang terungkap dalam Forum Riset Ekonomi dan Keuangan Syariah 2015.

M Fany Alfarisi (kiri) berfoto bersama Finalis Forum Riset Ekonomi dan Keuangan Syariah 2015, Rabu (29/4).
M Fany Alfarisi (kiri) berfoto bersama Finalis Forum Riset Ekonomi dan Keuangan Syariah 2015, Rabu (29/4).

Dalam pemaparan paper yang terpilih dalam Forum Riset Ekonomi dan Keuangan Syariah 2015, salah satu finalis Mohamad Fany Alfarisi meneliti mengenai Skenario Merger Bank Syariah: Kasus Indonesia. Ia pun meneliti skenario merger dua bank syariah terbesar di Indonesia, yaitu Bank Syariah Mandiri (BSM) dan Bank Muamalat Indonesia (BMI).

Arus bebas yang akan dihadapi industri perbankan dalam rangka Masyarakat Ekonomi ASEAN membuat Indonesia membutuhkan bank berskala besar, termasuk bank syariah. Pasalnya lima bank terbesar di Asia Tenggara berasal dari Singapura dan Malaysia. Oleh karena itu, konsolidasi perbankan Indonesia pun menjadi salah satu wacana yang dikemukakan untuk membentuk bank berskala besar agar bisa bersaing dengan bank-bank negara jiran.

Fany menuturkan jika BSM dan BMI merger, maka ekuitas dua bank akan mencapai lebih dari Rp 5 triliun. “Hasil penelitian menunjukkan konsolidasi BSM dan BMI mungkin membuat bank syariah baru dengan profitibilitas yang lebih baik, ukuran lebih besar dan posisi ekuitas kuat, jadi bisa langsung masuk kategori bank umum kelompok usaha (BUKU) III,” jelas Fany, Rabu (29/4). Baca: “Merger Bank BUMN Syariah Harus Matang Kajiannya”

Menurutnya, dengan masuk dalam kategori BUKU III, maka akan memiliki ruang lingkup yang lebih besar dari kegiatan keuangan di lokal maupun di pasar Asia. Jika skenario merger antara BSM dan BMI terjadi maka akan membuat total aset menjadi Rp 118,6 triliun dan ekuitas Rp 9,15 triliun. “Bank dengan aset besar dan ekuitas yang kuat diharapkan dapat menjadi institusi yang menguntungkan dan stabil,” tukas Fany.

Kendati demikian, ia mengakui penggabungan dua bank tersebut juga akan menimbulkan analisa lebih mendalam terkait efisiensi sumber daya manusia. Hal tersebut perlu dilakukan agar mengurangi beban biaya jangka panjang yang dapat mempengaruhi performa keuangan bank. Merger antara dua bank dinilai layak dari perspektif teknik penganggaran modal terutama net present value (NPV). Adanya biaya efisiensi pun akan membuat NPV lebih besar daripada tidak memperhitungkan efisiensi. NPV dengan memperhitungkan efisiensi akan sebesar Rp 45,23 triliun, lebih besar daripada jika efisiensi tidak dihitung yang sebesar Rp 38,39 triliun. “Rencana merger ini dapat meningkatkan nilai bank syariah,” kata Fany.

BMI yang telah memiliki kantor cabang di Kuala Lumpur, Malaysia pun akan menambah diversifikasi perbankan. “Mengenai level persaingan kalau terjadi merger akan terjadi pengurangan kompetisi, dan dengan kompetisi berkurang maka biaya efisiensi akan bisa lebih ditekan,” ujar Fany. Baca: Adiwarman: Merger Bank Syariah dengan BUMN? Belum Tepat!