Konsumsi domestik masih menjadi motor pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hal ini tentu tak terlepas dari terus bertumbuhnya kelas menengah Indonesia, dimana pada 2012-2020 diperkirakan mencapai 174 persen. Namun, bagaimana sebenarnya konsumsi yang sesuai dengan ajaran Islam?

Teori Perilaku Konsumen membahas mengenai bagaimana manusia memilih diantara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya. Dalam paradigma konvensional tujuan aktivitas konsumsi adalah memaksimalkan kepuasan dari mengonsumsi sekumpulan barang atau jasa dengan memanfaatkan seluruh anggaran. Pandangan konvensional yang materialis ini melihat konsumsi adalah fungsi dari keinginan, nafsu, harga barang, pendapatan, sedangkan konsumsi Islam dilakukan dalam rangka beribadah pada Allah.
Tujuan konsumsi dalam Islam bukan hanya kepuasan di dunia tapi juga kesejahteraan akhirat. Mencukupi kebutuhan dan bukan memenuhi kepuasan/keinginan adalah tujuan aktivitas ekonomi Islam. Baca Juga: Sesuaikan Porsi Investasi Sesuai Kebutuhan
Dalam membandingkan konsep kepuasan dengan pemenuhan kebutuhan, maka perlu membandingkan tingkatan tujuan hukum syara’, yakni daruriyyah (tujuan yang harus ada dan mendasar bagi penciptaan kesejahteraan dunia dan akhirat), hajiyyah (bertujuan memudahkan kehidupan), dan tahsiniyyah (menghendaki kehidupan indah dan nyaman).
Konsumsi dan pemuasan kebutuhan pada dasarnya tidak tercela selama tidak mengkonsumsi barang yang haram. Dalam hal konsumsi Islam melarang suka akan kemewahan dan berlebih-lebihan, tapi mempertahankan keseimbangan yang adil. Harta dalam Islam adalah amanah Allah yang harus dibelanjakan secara benar, tidak boros dan tidak mubazir.
Islam juga memerintahkan agar harta dikeluarkan untuk tujuan yang baik dan bermanfaat. Harta yang dimiliki tidak semata-mata untuk dikonsumsi tapi juga untuk kegiatan sosial seperti zakat, infak, sedekah. Saling berbagi dengan sesama inilah yang menjadi salah satu keindahan Islam. Baca: Marketing Zakat dan Keluarga Sakinah

