reksadana
Ki-Ka: Jaehoon Yoo (Chairman & CEO KSD), Nurhaida (Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK) dan Heri Sunaryadi (Direktur Utama KSEI). Foto: KSEI

Kembangkan Sistem Pengelolaan Investasi Terpadu, KSEI Gandeng Korea Selatan

[sc name="adsensepostbottom"]

Secara perlahan namun pasti, industri reksadana di Indonesia memang terus tumbuh. Namun masih banyaknya proses yang manual dijalankan dan tidak adanya standar baku untuk berinteraksi antar pelaku masih menjadi kendala untuk mengembangkan pasar reksadana karena prosesnya menjadi tidak efisien dan menimbulkan biaya tinggi.

reksadana
Ki-Ka: Jaehoon Yoo (Chairman & CEO KSD), Nurhaida (Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK) dan Heri Sunaryadi (Direktur Utama KSEI). Foto: KSEI

Oleh karena itu, agar industri reksadana dapat lebih cepat tumbuh dengan proses bisnis yang lebih efisien, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) pun bekerjasama dengan Korea Securities Depository (KSD) untuk pengembangan Sistem Pengelolaan Investasi Terpadu.

Direktur Utama KSEI, Heri Sunaryadi, mengatakan Sistem Pengelolaan Investasi Terpadu perlu dikembangkan di Indonesia karena di industri saat ini banyak proses dilakukan secara manual dan tidak terstandardisasi, sehingga usaha untuk mengembangkan bisnis reksadana otomatis berdampak pada peningkatan biaya sehingga tidak efisien. “Dalam skala industri, hal ini yang akan kami atasi yakni melalui pengembangan infrastruktur yang terintegrasi. Dengan demikian potensi industri dapat berkembang namun tetap efisien dari sisi biaya,” katanya, usai penandatanganan nota kesepahaman dengan KSD di Nusa Dua, Bali, Senin (22/9), dalam siaran pers yang diterima mysharing.

Ia menambahkan saat ini para pelaku di industri reksadana seperti Agen Penjual, Manajer Investasi, Bank Kustodian termasuk Perusahaan Efek masih saling terhubung dengan cara yang beragam dengan sistem yang dikembangkan oleh masing-masing pelaku. Kondisi di Indonesia saat ini mirip dengan kondisi yang dialami di Korea Selatan sekitar 10 tahun yang lalu, saat KSD mulai membangun infrastruktur untuk industri reksadana. KSD, yang menjalankan peran sebagai Lembaga Kustodian Sentral dan Kliring di Korea Selatan, saat itu mulai melakukan pengembangan FundNet sebagai sistem untuk pengelolaan investasi terpadu. Sistem ini menghubungkan semua pelaku di industri reksadana dalam suatu platform terpadu.

Setelah krisis Asia tahun 1998, industri reksadana di Korea menurun dan cenderung stagnan, hingga tahun 2005 saat KSD bersama regulator pasar Korea mengimplementasikan sistem FundNet. Selama hampir 10 tahun sistem ini pun membuat industri reksadana di Korea Selatan berkembang sangat pesat. Nilai total Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksadana di pasar Korea naik sebesar 150 miliar dolar AS pada pertengahan tahun 2014. Secara operasional jumlah order subscription meningkat hingga 11 kali atau 2,7 juta order dan order redemption meningkat hingga 7 kali atau 1,7 juta order. Dengan adanya sistem ini, peningkatan order tersebut dapat ditangani para pelaku secara efisien, sehingga biaya operasional dapat ditekan hingga 67 juta dolar AS per tahun.

Chairman & CEO KSD, Jaehoon Yoo, mengatakan sebagai institusi yang mengembangkan FundNet, KSD akan melakukan pendampingan dalam proses implementasi Sistem Pengelolaan Investasi Terpadu. “FundNet bukan hanya tentang industri reksadana di Korea, tetapi juga mencerminkan pengalaman KSD untuk menjadi Central Securities Depository (CSD) global. Ini juga yang membuat saya sangat percaya bahwa sistem pengelolaan investasi terpadu yang akan dikembangkan bersama KSEI dan KSD nantinya akan membuka jalan bagi industri reksadana Indonesia untuk dapat terintegrasi dengan pasar regional melalui standardisasi infrastrukturnya”, ujar Yoo.

Belajar dari kesuksesan KSD dalam mengembangkan infrastruktur untuk industri reksadana ini, KSEI juga dapat mengembangkan dan menerapkan hal yang sama di pasar modal Indonesia. Pengembangan industri reksadana ini juga sejalan dengan tujuan pengembangan pasar modal untuk peningkatan likuiditas dan juga pendalaman pasar. Selain efisiensi proses bisnis dan operasional, infrastruktur ini juga akan memudahkan para pelaku dalam melakukan fungsi pelaporan kepada OJK sebagai otoritas. Dari sisi OJK tentunya hal ini juga akan mendukung fungsi pengawasan, sehingga industri ini dapat berkembang dengan pesat namun investor juga dapat lebih terlindungi. Butir-butir dalam MoU yang ditandatangani antara lain meliputi ruang lingkup kerja sama berkaitan dengan pemberian jasa dan pertukaran informasi mengenai pengembangan Sistem Pengelolaan Investasi Terpadu.

Sementara, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Nurhaida, mengatakan inisiatif kerjasama tersebut sejalan dengan program OJK untuk pengembangan Single Investor ID (SID) bagi investor reksadana. “Jadi secara keseluruhan industri ini dapat berkembang namun juga tetap efisien dan transparan sehingga memberikan keyakinan bagi pelaku dan masyarakat yang menjadi investor”, katanya.

Untuk mendukung proses pengembangan sistem ini, OJK bersama dengan KSEI dan asosiasi pasar modal terkait, yaitu: Asosiasi Pengelola Reksa Dana Indonesia (APRDI), Asosiasi Bank Penjual Reksa Dana Indonesia (ABAPERDI) dan Asosiasi Bank Kustodian Indonesia (ABKI) pun akan membentuk Working Group yang nantinya akan bekerja bersama dan didampingi oleh KSD selaku business consultant.

Perkembangan reksadana di Indonesia perlahan tapi pasti mulai menunjukkan geliatnya. Berdasarkan data OJK pada tanggal 16 September 2014, terdapat 822 reksadana dengan jumlah total sekitar 129 Miliar  Unit Penyertaan Reksa Dana yang dikelola oleh 75 perusahaan Manajer Investasi. Jumlah tersebut dapat semakin meningkat apabila didukung infrastruktur yang memadai dan memberikan kemudahan bagi investor.