Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin
Wakil Ketua Wantim MUI Didin Hafidhuddin.

Kepentingan Rakyat Harus Didahulukan, Bukan APBN

[sc name="adsensepostbottom"]

Pencabutan subsidi harga bahan bakar minyak (BBM) November lalu  dianggap tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Hanya karena mengejar rapot bagus di APBN.

Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin
Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin: “Kalau APBN Merugi, tetapi masyarakat bisa menikmati, apa salah?”

Niat Pemerintahan baru Kabinet Kerja ini mungkin memang baik, yaitu guna mencapai keseimbangan dalam neraca pembangunan ekonomi di Tanah Air.  Namun demikian yang menjadi pertanyaan adalah, apakah rakyat Indonesia kebanyakan, atau masyarakat ekonomi menengah bawah di Tanah Air akan sanggup bertahan, apabila subsidi berbagai komoditi penting diatas dilepas? Itu yang menjadi keraguan dari banyak pihak di Tanah Air saat ini. Baca juga: Harga BBM Dongkrak Inflasi Hingga 7,5%

Pakar ekonomi syariah – Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, MS, yang juga Ketua Umum Baznas, sangat tidak setuju dengan kebijakan pengurangan atau bahkan pelepasan subsidi oleh Pemerintah tersebut di atas karena tidak berpihak kepada kepentingan rakyat.

“Sekarang yang diperlukan adalah, bagaimana Pemerintah itu harus berpikir keras, agar tak ada korupsi di dalam Negara ini. Semua kebijakan Negara harus ditujukan untuk kepentingan rakyat. Agar rakyat bisa menikmati pendidikan, dan juga rakyat bisa menikmati pekerjaan. Jadi walaupun misalnya, dengan mempertahankan subsidi, APBN harus merugi, tapi kalau masyarakatnya bisa menikmati, apa salahnya? Kalau misalnya tidak dicabut subsidi, lalu APBN menjadi tidak stabil, tapi masyarakat luas bisa menikmati, menurut saya tidak apa-apa! Karena stressing Pemerintah atau Negara ini haruslah pada kepentingan rakyat banyak, bukan pada angka-angka di APBN!” papar Didin dengan sikap tegas kepada MySharing via telepon (9/12/).

Menurut Didin, kesalahan kita selama ini adalah, bahwa kita sering mengindikasi bahwa kemakmuran itu hanya diukur dengan angka-angka. “Misalnya, pendapatan naik sekian, lalu inflasi turun. Itu kan hanya di angka-angka. Tapi yang riil di masyarakat, masyarakat miskin itu berapa jumlahnya? Apakah naik ataukah turun? Apakah tingkat kemiskinan itu sekarang semakin parah? Lalu juga bagaimana tingkat kesenjangan antara orang kaya dengan orang miskin? Itu ukuran-ukuran yang juga harus mulai dimunculkan. Bukan sekedar ukuran-ukuran kemakmuran yang sifatnya kuantitatif. Kepentingan rakyat harus didahulukan,” ungkap Didin mempertanyakan.

Lebih lanjut Didin, ukuran-ukuran yang bersifat kuantatif itu sering menjebak. Misalnya, bahwa jumlah orang miskin di Negara kita turun dari sekian persen, menjuju ke sekian persen. “Tapi dalam realitasnya? Kita melihat sendiri, ‘kan? Kemiskinan ada di mana-mana! Dan ini yang memprihatinkan bagi kita, karena tingkat kriminalitas sekarang juga semakin tinggi, sebagai akibat dari beban kemiskinan itu,” lanjut Didin lagi.

Karena itu, Didin menghimbau, agar para praktisi di bidang ekonomi syariah harus semakin menyatu dalam pikiran dan juga visinya, tentang bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena Didin sangat meyakini, ekonomi syariah bisa menjadi solusi terhadap permasalahan ekonomi dan kesejahteraan dari bangsa Indonesia ini.

“Dari zakat, infaq, dan sedekah, ekonomi syariah bisa mulai memikirkannya dari sana. Lalu bank syariah, asuransi syariah, dan juga lembaga keuangan syariah lainnya, itu akan bisa dirasakan manfaatnya, ketika mereka punya peran di dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dan bukan hanya sekedar bank syariah atau lembaga keuangan syariahnya saja yang kuat. Tapi seberapa jauh masyarakatnya bisa mendapatkan kemanfaatan dari lembaga keuangan syariah ini. Karena saya yakin pendekatan ekonomi syariah ini akan lain dengan pendekatan ekonomi konvensional,” papar Didin.

Didin menambahkan, saat ini, bahkan sebelum BBM dinaikkan, kemiskinan sudah bertambah terus. Menurut Didin, ini sangat mengkhawatirkan.

“Kita sendiri Ummat Muslim, dari sisi dunia perzakatan juga belum optimal. Karena memang dukungan dari para anbiya ini juga belum maksimal, sehingga pemberdayaan zakat ini belum mampu menjangkau keseluruhan rakyat miskin. Saya yakin, angka kemiskinan Indonesia akan meningkat pasca kenaikan harga BBM. Padahal, kalau semakin banyak orang miskin dan lapar, maka pikiran mereka menjadi tidak panjang. Mereka akan mudah diadu domba dan mudah diprovokasi, serta mudah melakukan kejahatan. Kalau kemiskinan ini dibiarkan dipicu oleh keadaan ekonomi yang tidak stabil, maka hal ini sangat membahayakan. Pemerintah harus tanggap mengantisipasi ini!” demikian Rektor Universitas Ibnu Khaldun Bogor ini menyeru.