Ketimpangan ekonomi di Indonesia meningkat cepat di era reformasi. Pola pertumbuhan ekonomi justeru menjadi penyebabnya.

Peneliti Indonesia dan Inggris baru-baru ini menemukan perbedaan jelas pola pertumbuhan ekonomi Indonesia dari dua masa, Reformasi dan paruh akhir Orde Baru. Penelitian bertajuk “Twenty Years Of Expenditure Inequality In Indonesia, 1993–2013” ini dimuat di Bulletin of Indonesian Economic Studies Agustus 2014 . Dikerjakan oleh dua peneliti, Arief Anshory Yusuf (Direktur Pusat Ekonomi dan Studi Pembangunan, Universitas Padjadjaran, Indonesia ) dan Andy Sumner (Direktur Lembaga Pengembangan Internasional, King College London, Inggris). Penelitian ini mengukur belanja per orang untuk melihat evolusi belanja dan mengidentifikasi pola pertumbuhan ekonomi sebagai penyebab terdekat (proximate) ketimpangan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi pro poor sebagaimana dikampanyekan beberapa pemerintahan di masa reformasi, malah memberikan hasil sebaliknya. Ditinjau dari garis kemiskinan nasional, selama 1990-1996 (masa Orde Baru), pertumbuhan belanja rata-rata populasi 77 persen lebih cepat daripada belanja rata-rata penduduk miskin.
Sementara, Koefisien Gini Indonesia naik 32 persen, dari 0,32 pada 2003 menjadi 0,43 pada 2013. Di daerah pedesaan lebih tinggi, naik 30 persen, dari 0,25 pada 2003 menjadi 0,32 pada 2013.
40 Persen Hidup di Bawah Garis Kemiskinan
Selama 2003–2013 pertumbuhan belanja perkapita rata-rata populasi naik lebih dari dua kali lipat atau 5,4 persen dari metrik yang sama pada penduduk miskin atau 2,6 persen. Selama 1990–1996 pertumbuhan belanja rata-rata tahunan per orang adalah 3,5 persen atau or 37 persen lebih cepat daripada penduduk yang hidup dengan belanja kurang dari USD 2 per hari, yaitu 2,6 persen.
Di masa reformasi, pertumbuhan rata-rata tahunan untuk belanja per orang 97 persen lebih cepat dari mereka yang hidup di bawah USD 2 per hari.
Mudahnya, jurang antara orang kaya dan miskin terus melebar di Indonesia lebih dari yang terjadi di negara berkembang lainnya.Ketimpangan ekonomi secara komprehensif naik 60 persen selama 1993-2003. Sementara yang kaya makin kaya, sekitar 40 persen dari 250 juta penduduk Indonesia masih hidup di bawah standar internasional garis kemiskinan, USD 2 per hari.

Dua peneliti menggunakan beberapa metrik ketimpangan berbeda, seperti rasio belanja antara 10 persen penduduk terkaya dan 10 persen penduduk termiskin. “Menggunakan ukuran ini, kami menemukan peningkatan ketimpangan ekonomi lebih dari 60 persen. Menggunakan ukuran standar, seperti koefisien Gini, kami juga menemukan peningkatan ketimpangan ekonomi lebih dari 30 persen selama periode yang sama”, kata dua peneliti ini dalam opininya di Aljazeera.com.
Selain Koefisien Gini dan rasio belanja, dalam bagian metodologinya, sebagaimana dikutip dari laporan penelitiannya, peneliti menggunakan juga disparitas antarwilayah (Theil index of interprovincial inequality and interdistrict).
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh pesat sejak 2000-an, tapi lebih banyak menguntungkan orang kaya dari pada kebanyakan orang. Peneliti menuliskan dalam opininya tersebut, “Kenaikan dramatis dalam ketidaksetaraan bahkan lebih spektakuler ketika Anda mempertimbangkan bahwa bagi banyak negara berkembang, misalnya di Amerika Latin, justeru ketimpangan ekonomi sedang menurun”.
Bersambung ke Sawit, Batubara, dan Ketimpangan Ekonomi

