Setelah Perang Dunia II sejumlah krisis ekonomi secara berkala terjadi. Kondisi tersebut terjadi setidaknya setiap 3-4 tahun dan memutar di berbagai wilayah dunia.
Salah satu penyebab krisis tersebut ditengarai karena perekonomian lebih bergantung pada sektor keuangan, dan meninggalkan sektor riil.
Direktur Jenderal Statistical, Economic and Social Research and Training Center for Islamic Countries, Savas Alpay, mengutarakan bahwa ada pemikiran yang mengemukakan bahwa ketika mengetahui krisis ekonomi selalu datang berkala, krisis menjadi sesuatu yang dinilai tidak bisa terelakkan lagi dan pasti terjadi sehingga harus terbiasa dengan siklus tersebut. Padahal, pandangan berpikir seperti itu tak tepat.
Alpay mengatakan krisis mungkin tetap akan terjadi karena adanya ketidaksempurnaan, tapi seharusnya hanya terjadi sesekali, tidak berkala. “Saat berpikir krisis terjadi terus menerus secara berkala dan kita harus terbiasa, saya berpikir itu bukan solusi yang bagus, malah itu bukan suatu solusi sama sekali. Kita harus mengubah sistem,” ujar Alpay.
Mengutip pernyataan mantan Kepala Ekonom Dana Moneter International (IMF), Simon Johnson, Alpay mengatakan bahwa sektor keuangan kini telah menawan regulator. “Artinya sektor keuangan begitu besar, sehingga bisa memengaruhi regulasi dengan melobi regulator. Mereka punya kekuatan yang kuat dan mendapatkan apa yang mereka inginkan,” papar Alpay. Baca Juga: Indonesia Harus Segera Bentuk Komite Ekonomi Syariah
Alpay mengatakan saat krisis ekonomi terjadi di era 2000-an banyak yang berdiskusi mengenai revisi aturan bank dan keuangan, tapi sampai saat ini tidak ada yang berubah. Alpay mengungkapkan riset dari Credit Suisse bahwa saat ini 40 persen dari bank global dimiliki oleh 0,1 persen individu dari total populasi dunia. “Ini tidak bisa dipercaya. Jadi mereka sangat kuat dan bisa mempengaruhi segalanya. Karena kekuatan ada di tangan sedikit orang ini jadi sistemnya tak bisa sustain,” tukas Alpay.
Ia menambahkan problema tersulit yang dihadapi perekonomian global saat ini adalah ketika sebagian besar orang beraktivitas di dunia keuangan daripada sektor riil. Alpay memaparkan dalam suatu produksi barang sebuah perusahaan harus fokus dan efisien di satu area demi memperoleh dana untuk meningkatkan bisnisnya, lalu ketika ada pilihan instrumen surat utang atau produk derivatif yang bisa menghasilkan lebih banyak uang, maka akan timbul pemikiran untuk lebih cenderung masuk ke pasar keuangan sekaligus daripada memproduksi barang. “Ini yang akan menimbulkan masalah dan ekonomi akan loss,” kata Alpay.
Adanya produk derivatif di lembaga keuangan konvensional, menurut Alpay, juga menjadi salah satu faktor tidak sinkronnya antara sektor keuangan dengan sektor riil, sehingga kemudian timbul krisis. “Tidak ada transaksi riil pada produk derivatif, sebagian besar menyebutnya seperti berjudi. Sementara, di ekonomi syariah berbeda karena tidak boleh ada produk derivatif dan segala transaksi harus terkait dengan sektor riil,” jelas Alpay.
Bagaimana ekonomi syariah bisa berperan? Alpay menuturkan ekonomi syariah merupakan ekonomi rahmatan lil ‘alamin, yang tidak hanya ditujukan bagi umat muslim tapi bagi orang di seluruh dunia. Ekonomi ini pun terfokus pada perkembangan sektor riil yang berjalan beriringan dengan sektor keuangan.
Selain itu, lembaga keuangan syariah yang mengenal praktek musyarakah membuat lembaga keuangan bisa bermitra dengan nasabah dan menjaga bisnis yang dikelola bersama. “Sehingga jika ada masalah atau niat buruk dari salah satu pihak, maka pihak lainnya akan bisa melindungi sumber daya,” ujar Alpay.