Mengenal Efek Beragun Aset Syariah

Mengenal Efek Beragun Aset Syariah

Institusi perbankan sebagai lembaga intermediasi dituntut untuk mampu mengelola dana masyarakat yang disimpan di bank. Perbankan pun dihadapkan pada kemampuan untuk mengelola likuiditas.

Mengenal Efek Beragun Aset SyariahPembiayaan yang disalurkan acapkali merupakan pembiayaan jangka panjang, sementara perbankan diharuskan mengalokasikan bagi hasil bagi nasabah simpanan setiap bulan. Nah, jika perbankan tidak mampu mengelola likuiditasnya dengan baik, maka akan terjadi mismatch (ketidaksesuaian) likuiditas di perbankan.

Untuk mengatasi masalah tersebut sebenarnya sudah terdapat sejumlah instrumen seperti surat perbendaharaan negara (SPN) syariah, sukuk, sertifikat investasi mudharabah antarbank, hingga sertifikat perdagangan komoditi syariah antarbank. Namun ada satu instrumen yang masih belum bergaung di industri perbankan syariah, yaitu efek beragun aset (EBA) syariah.

EBA pada dasarnya adalah instrumen yang membuat aset kurang likuid menjadi likuid. Ini merupakan langkah sekuritisasi aset, dimana membuat aset-aset yang tidak likuid menjadi aset likuid dengan cara menjual sekumpulan aset dari pemilik awal kepada pihak lain melalui penerbitan surat berharga. Baca Juga: Efek Beragun Aset Syariah Masih Langka

Kepala Bagian Pengembangan Kebijakan Pasar Modal Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Arif Machfoed, menjelaskan saat bank menyalurkan pembiayaan berjangka panjang antara 5-20 tahun, dana tersebut berasal dari dana pihak ketiga yang masa simpanannya ditahan nasabah rata-rata selama tiga bulan (deposito). “Di sini ada mismatch likuiditas, nah EBA ini melikuidkan aset jangka panjang menjadi berjangka pendek di perbankan,” kata Arif.

Ia menuturkan ada sejumlah kriteria agar suatu aset dapat disekuritisasi, diantaranya adalah punya risiko yang terdistribusi merata dan aset punya kapasitas cukup untuk disekuritisasi. Selain itu, aset-aset tersebut juga harus memenuhi prinsip syariah, halal dan terbebas dari unsur riba, serta aset jaminan bukan merupakan utang, kas atau aset yang dilarang (haram) atau berasal dari investasi yang tidak produktif. Arief mengungkapkan pada dasarnya aset yang bisa disekuritisasi adalah aset milik kreditur (perusahaan) dan punya nilai ekonomi di masa depan. “Aset yang masih atas nama bank itu bisa disekuritisasi,” ujarnya.

Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) No 40/DSN-MUI/X/2002 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal, EBA Syariah didefinisikan sebagai Efek yang diterbitkan oleh kontrak investasi kolektif EBA Syariah yang portofolio-nya terdiri dari aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat berharga komersial, tagihan yang timbul di kemudian hari, jual beli pemilikan aset fisik oleh lembaga keuangan. Efek ini bersifat investasi yang dijamin oleh pemerintah, sarana peningkatan investasi/arus kas serta aset keuangan setara, yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Arief menuturkan praktek EBA sudah cukup banyak dilakukan di luar negeri. Secara umum, institusi yang dapat menerbitkan EBA terdiri atas 2 jenis yaitu lembaga trusts dan special purpose vehicle (SPV). Namun sistem hukum di Indonesia tidak mengenal lembaga trust sebagai issuer, sementara SPV belum diterapkan secara umum dalam proses sekuritisasi di Indonesia. Kecuali Perusahaan Penerbit SBSN yang bertindak sebagai SPV penerbitan sukuk negara, belum ada perusahaan lain yang khusus bertindak sebagai SPV di Indonesia.

Oleh karena itu, mekanisme yang diatur dan digunakan untuk melakukan sekuritisasi di pasar modal Indonesia adalah Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA). Dalam kajian mengenai EBA syariah yang dilakukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (sebelum dilebur ke OJK) pada 2010, konsepsi EBA dalam bingkai KIK secara khusus bertujuan untuk menjembatani belum dapat diterapkannya konsep SPV dalam bentuk perusahaan di pasar modal.

Oleh karena EBA diterbitkan oleh suatu kontrak yaitu KIK, sedangkan kontrak tidak termasuk badan hukum, maka KIK tersebut tidak dapat dipailitkan yang pada akhirnya dapat melindungi investor pemegang EBA. “Karena itu penerbitan EBA syariah di Indonesia nanti bentuknya kontrak investasi kolektif,” pungkas Arif.