Menjelang Masyarakat Ekonomi ASIAN (MEA) 2015, pemerintah harus menggerakkan industri halal dan syariah. Karena ini merupakan bisnis besar yang menjadi pesaing negara non Muslim.

Ketua Komite Tetap Akses Pasar UKM KADIN, Rifda Ammarida mengatakan, Indonesia belum menjadi tujuan Muslim dunia, berbeda dengan Malaysia. Di Kuala Lumpur, hotel-hotelnya penuh dengan wisatawan Muslim, sedangkan kalau di Indonesia lari ke puncak Jawa Barat untuk maksiat.”Indonesia belum mampu menggerakkan industri syariah,” kata Rifda kepada MySharing, di Jakarta Jumat (19/12).
Menghadapi MEA 2015, lanjutnya, terpaksa harus diterima. Diharapkan Indonesia jangan menjadi market, tapi harus menjadi pemain. Karena dari 600 juta anggota MEA, 250 jutanya ada di Indonesia. Dari 250 juta itu mayoritas Muslim ada di Indonesia. “Jadi, Indonesia akan menjadi sasaran lebih besar bagi negara-negara non Muslim,” tukas Rifda. Baca juga: Indonesia Berpeluang Jadi Produsen Halal Terbesar
Menurutnya, kelemahan Indonesia karena pemerintah terlambat menggerakkan halal. Baik itu berkaitan dengan kebijakan pameran, kebijakan pengembangan industri halal dan sebagainya. Dan memang tidak dipungkuri, kata Rifda, seperti dikatakan oleh Kementerian Perindustrian, bahwa Indonesia sudah ada kawasan industri. Tetapi itu belum sampai ke industri produksi. Seharusnya dari hulu dulu, ada kawasan industri untuk kawasan halal. Baca juga: Kawasan Industri Halal Jangan Sekedar Wacana
Ia mengatakan, di China saja ada kawasan industri halal, di Rotterdam Belanda yang bukan negara Islam, mempunyai pelabuhan khusus produk halal. Jadi produk halal yang masuk ke eropa, masukknya lewat Rotterdam. Malaysia punya ribuan outlet di seluruh dunia untuk produk halal.”Cari satu saja di dunia outlet produk halal punya Indonesia, nggak ada,” ujarnya.
Kalau kita tidak menggerakkan lembaga Islam, lanjut Rifda, setiap pergantian pemerintah butuh waktu lagi untuk menyakinkan mereka. Seperti pada Industry Halal Business & Food (IHBF) Expo 2014 yang diselenggarakan di Jakarta Convention Center (JCC), biasanya 7 kementerian berpartisipasi. Namun kali ini, hanya 2 yaitu Kementerian Peindustrian dan Kementerian Perdagangan.
Ia menjelaskan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, setelah didatangi, mereka bilang sedang konsolidasi dengan menteri yang baru. Kementerian Pertanian yang berkaitan dengan pangan, sedang fokus dengan lima program unggulan. Sedangkan kementerian Kesehatan dan Kementeri Koperasi dan UKM, bilang tidak ada dana. Padahal ini, event tahunan, yang biasanya kementerian tersebut ikutserta. Baca juga: IHBF Akses Pasar UKM dan Bisnis Syariah
Menurut Rifda, ini adalah Jokowi effect. Jadi karena presiden baru, menteri-menteri masih takut. Ini presiden kita mau ke kiri atau ke kanan. “Indonesia yang mayoritas Muslim, masa kementeriannya tidak bergerak mendorong produk halal dan syariah. Ini kan konyol!,” katanya. [su_pullquote align=”right”]”Bukan masalah untuk orang Islam atau non-Muslim. Ini big business untuk mendorong ekonomi kerakyatan dan UKM Indonesia”[/su_pullquote]
Kembali ia menegaskan, mengapa konyol, karena ini bukan hanya untuk memberikan akses hak asasi manusia kepada masyarakat luas, tapi ada big bisnis yang negara non Muslim turut andil besar. Seperti negara Thailand yang Muslimnya hanya 3 persen, Malaysia Muslimnya dari 20 juta sekarang tinggal 17 juta. Kenapa bergerak industri halal lebih baik dari Indonesia? “Artinya kan bukan masalah untuk orang Islam atau non-Muslim. Ini big business untuk mendorong ekonomi kerakyatan dan UKM Indonesia. Jangan salah 90 persen lebih serapan tenaga kerja di republik ini UKM,” imbuhnya.
Rifda pun mencontohkan, Jawa Barat yang kawasan industrinya seabrek-abrek, konstribusi UKM cuma 85 persen, industri besarnya hanya 10 persen. Coba bayangkan, di Maluku, Papuan dan di pelosok-pelosok negeri ini yang tidak ada industri besar, 100 persen itu UKM-nya. Baca juga: Kemenperin Imbau Pemda Permudah Izin UKM
Menurutnya, bicara soal UKM itu adalah bicara jati diri Indonesia, termasuk kita penduduknya. Setiap hari dalam rutinitas kerja, sudah dipastikan mayoritas dari kita makannya di warteg, bukan direstoran dan hotel mewah. Kalau pemerintah tidak mendorong UKM dan tidak ada jaminan produk halal, Muslim yang mengonsumsi pangan UKM akan ragu. “Namun, coba tenggok, krisis 1998 dan 2008, kalau bukan karena kekuatan UKM. Ekonomi Indonesia kolaps tidak akan bangkit membaik,” pungkasnya.

