Direktur Pendidikan Perguruan Tinggi Islam Kementerian Agama, Amsal Bakhtiar.

Pendidikan Ekonomi Syariah di Indonesia Terganjal Kendala

Perkembangan industri keuangan syariah lebih maju dibandingkan dengan kurikulum  di Perguruan Tinggi Agama Islam.

Direktur Pendidikan Perguruan Tinggi Islam Kementerian Agama, Amsal Bakhtiar.
Direktur Pendidikan Perguruan Tinggi Islam Kementerian Agama, Amsal Bakhtiar.

Direktur Pendidikan Perguruan Tinggi Islam, Kementerian Agama, Amsal Bakhtiar, menuturkan, pendidikan ekonomi syariah di perguruan tinggi merupakan hal baru dibandingkan dengan progran studi yang sudah ada di perguruan tinggi agama Islam.

Menurutnya, secara tradisional perguruan tinggi agama Islam itu mengelola beberapa bidang besar, yaitu pertama sosiologi terkait akidah, perbandingan agama, tafsir, dan hadist. Kedua dakwah dengan segala program studynya. Ketiga adalah fakultas adat, terkait syariat Islam, sastra Arab dab sebagainya. Keempat adalah tarbiah dan terakhir adalah fakultas syariah.

Pada fakultas syariah ini, banyak juga program studi perbandingan mazhab, tarbiah dan muamalah. “Pada dekade 90-an baru muncul yang dinamakan ekonomi syariah. Ini muncul awalnya dari dorongan masyarakat dan industri yaitu perbankan syariah,” kata Amsal, dalam Forum Riset Ekonomi dan Keuangan Syariah 2015, di UI Depok beberapa waktu lalu.

Selain dorongan industri syariah, lanjutnya, dorongan juga muncul dari berbagai negara Islam yang sudah mulai pengajaran, penelitian dan pembukaan program studi di berbagai kampusnya. Umpayanya di Universitas Islam International Malaysia (UIIM).

Menurutnnya, perkembangan dunia bisnis dan industri biasanya lebih maju dibandingkan dengan kurikulum. Kurikulum atau program studi syariah, sering tertinggal dan lama baru menyesuaikan diri dengan perkembangan di luar perguruan tinggi.

Selain itu, perkembangan dosen biasanya lebih lambat lagi dibandingkan kurikulum. Karena dosen cenderung akan menyampaikan apa yang selama ini dikuasai dan untuk melakukan sesuatu yang baru biasanya sudah malas. Menurutnya, kalau kurikulum mungkin bisa beberapa minggu kita diskusikan bisa disesuaikan dengan perkembangan yang ada. Namun kalau mencetak dosen butuh waktu tiga tahun untuk S1, dan tiga tahun untuk S2. ”Jadi memang tidak mudah untuk meningkatkan jumlah dosen dalam bidang ekonomi syariah. Ini yang masih kendala hampir di semua perguruan tinggi Islam, bahwa tidak semua sejalan dengan perkembangan yang ada di dunia kerja,” ujarnya.

Menurutnya, salah satu contoh kontrit dari realitas itu adalah ekonomi Islam di beberapa Perguruan Tinggi Agama. Industri perbankan lebih cepat tumbuhnya dibandingkan dengan respon perguruan tinggi terhadap perbankan syariah.

295 Program Studi Ekonomi Syariah
Asmal mengakui bahwa dalam perkembangannya untuk program studi ekonomi syariah itu cepat dan pesat. Menurutnya, dalam data Kementerian Agama, ternyata di Indonesia, pendidikan ekonomi syariah itu sudah berjumlah 295 program studi dan tentu saja tidak semuanya seragam.

Pertama dari sisi kualitasnya, kemudian juga dari segi penyebaran daerah juga tidak seragam. Biasanya kebanyakan dari program studi yang ada pelajaran ekonomi syariah itu diperguruan tinggi yang berada di pulau Jawa. Sementara di luar pulau Jawa, penyebaran program studi ini sedikit sekali. Tentu kendalanya, sangat banyak sekali terutama sumber daya manusia (SDM) yang langka di luar pulau Jawa. Inilah dari segi penyebarannya.

Kedua, dari segi kualitas/ sertifikasi, hampir sedikit sekali program studi ekonomi syariah yang nilainya A, rata-rata B dan C. ”Ini juga tantangan bagi kita, padahal peminat sangat banyak. Tetapi persoalanya adalah pada dosen yang terbatas, juga sarana dan prasarana yang masih kurang, itu juga menimbulkan banyaknya yang nilainya C,” ujarnya.

Amsal pun mencontohkan, akutansi syariah yang program akreditasi A, cuma satu dari 295. Muamalah ada empat yang akreditasinya A, yang B cukup banyak. Sedangkan muamalah ada 42, ekonomi syariah 18, namun itu pun masih kalah dengan nilai C-nya. ”Ini tantangan karena dari segi kualitas masih sangat minim. Bahkan C itu sebenarnya sudah tidak lulus. Yang lulus itu A dan B,” katanya.

Disamping kendala mutu, lanjutnya, juga masih ada kendala dalam hal variasi nomerklatur fakultas yang menaugi program studi . Dalam hal ini, terdapat tiga nomerklatur fakultas yaitu, Fakultas Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum atau Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum dan Fakultas Ekonomi atau Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Dan mulai tahun 2013, telah berdiri Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) di lingkungan Kemenag.

Selain itu, dari segi total jumlah beban sks pada kurikulum pendidikan ekonomi Islam, terdapat variasi di antar Perguruan Tinggi Agama Islam. Di Fakultas Syariah, berkisar 146-156 sks. Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, berkisar 152-157 sks, Fakultas Ekonomi dan Bisnis antara 147-157 sks dan Sekolah Tinggi Ekonomi Islam sekitar 145-157 sks.

Di fakultas dengan nomenklatur Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, terdapat kecenderungan pengembangan yang berfokus pada aspek teori, doktrin dan konsepsi Islam tentang ekonomi. Sehingga lahir nomenklatur program studi/konsentrasi muamalah atau ekonomi Islam.

Sedangkan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, ditemukan adanya kecenderungan memfokuskan pengembangan aspek manajemen dari ekonomi Islam. Oleh karena itu, biasanya pendidikan ekonomi Islam hadir di bawah naungan program studi/jurusan manajemen, demikian juga di FEBI.

Di Fakultas Syariah, ditemukan adanya pengembangan dua corekeilmuan yaitu hukum ekonomi syariah/Bisnis Islam (Syariah) dan Ilmu Ekonomi Syariah (Islam). Yang disebut pertama lebih menitikberatkan aspek hukum Islam dari entitas ekonomi. Sedangkan yang terakhir lebih memfokuskan aspek teori, doktrin dan konsepsi Islam tentang ekonomi. Oleh karena itu, biasanya pendidikan ekonomi Islam hadir dibawah naunagn program studi Mualamat (ekonomi Islam/Syariah) dan program studi mualamat (hukum Islam/ Bisnis Islam/Syariah).

Pada kemunculan awal ekonomi syariah, di fakultas ekonomi syariah itu muatan ekonomi tidak begitu banyak unsur komponen ekonominya dibandingkan unsur syariahnya. Menurut Amsal, itu wajar karena yang memiliki kompetensi ekonomi jauh lebih banyak daripada syariahnya. Ini merupakan tantangan untuk memadukan antara komponen ekonomi dan syariahnya.

Dan persoalan saat ini yang harus difokuskan adalah ketersedian SDM yang dibutuhkan adalah memiliki kompetensi dengan kualitas integratif.”SDM yang mampuni dalam aspek syariah dan menguasai aspek ekonomi syariah dan keuangan dengan baik dari sisi konsep, utamanya dari segi operasional,” pungkasnya.