Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) menyelenggarakan focus group discussion (FGD) mengenai halal tourism and lifestyle, Selasa (12/5). Dalam forum tersebut tercetus ide untuk menjadikan wisata syariah sebagai wisata universal.
Menteri Pariwisata, Arief Yahya, menuturkan wisata syariah harus memiliki branding. Seperti halnya dengan fashion muslim yang disebut sebagai modest fashion. Hal tersebut membuat fashion muslim lebih inklusif. “Saya harap filosofi Islam rahmatan lil alamin betul terjadi, karena kalau menyebut fesyen Muslim itu jadi tidak inklusif padahal kalau rancangan Dian Pelangi itu bagus juga dan bisa dipakai oleh yang non Muslim. Filosofi syariah Islam adalah untuk seluruh semesta, karena itu saya ingin usulkan wisata syariah yang universal,” ujar Arief.
Dari sekitar 10 juta wisatawan mancanegara ke Indonesia, ada sekitar 1,7 juta wisatawan muslim. Sementara, lebih dari 80 persen adalah wisatawan non muslim. “Oleh karena itu, saya lebih memilih universal tourism. Saya tidak mau pengusaha yang dibawah kementerian kita ini, karena terlalu besemangat akan rugi karena 8 dari 10 pengusaha adalah nonmuslim,” ujar Arief.
Sementara, Pakar Pemasaran, Hermawan Kertajaya, mengatakan Islam yang merupakan rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh semesta) memiliki nilai universal. Wisata syariah pun sangat value centric dengan makna rahmatan lil alamin. Oleh karena itu, dalam mengembangkan wisata syariah pun harus punya kreativitas dan tercermin dalam tingkat perilaku yang memperlakukan semua orang dengan adil dan baik.
Terkait branding wisata syariah pun hendaknya dapat menekankan pada unsur universal. “Shariah tourism saya usulkan lebih baik disembunyikan (kata shariah-nya) supaya lebih universal. Kalau mau ikuti target kontribusi pada produk domestik bruto, maka rahmatan lil alamin ini menjadi universal tourism,” ujar Hermawan. Ia mengacu pula pada branding islamic banking (iB) yang ‘menyembunyikan’ kata islamic dalam iB.
Managing Director Edelman, Aries Nugroho, menuturkan jika suatu restoran atau hotel sudah menawarkan konsep sesuai dengan prinsip syariah, maka konsep tersebut harus dipegang teguh. “Kalau restoran sudah tawarkan makanan halal itu harus dipegang. Jangan lalu bisa bernegosiasi karena kalau ada itu, maka negosiasi tengah itu yang akan merusak value dari brand tadi,” tukas Aries. Sementara terkait branding sebagai Islamic tourism, menurut Aries, layak untuk dipertimbangkan dan dijual lebih banyak kepada masyarakat.
Sementara, Presiden Direktur Karim Business Consulting, Adiwarman A Karim, mengatakan wisata syariah di Indonesia bukanlah commercial driven seperti di Thailand, Korea, Jepang atau Malaysia. “It’s passion driven. Kita bangsa yang diberi dengan spiritualitas tinggi. Ketika Hindu masuk Indonesia jadi negeri seribu stupa, dan saat Islam masuk jadi negara seribu masjid. Jadi dari awal kita adalah negara yang dekat dengan tuhan,” kata Adiwarman.[su_pullquote align=”right”]”Shariah tourism saya usulkan lebih baik disembunyikan (kata shariah-nya) supaya lebih universal. Kalau mau ikuti target kontribusi pada produk domestik bruto, maka rahmatan lil alamin ini menjadi universal tourism,” Hermawan Kertajaya[/su_pullquote]
Ia pun menambahkan dalam mengembangkan wisata syariah maka genuine destination yang harus dibangun di Indonesia dengan menampilkan bagaimana pemahaman masyarakat Indonesia tentang Islam. Indonesia sendiri telah menjadi kiblat dunia untuk keuangan syariah, busana muslim, makanan halal, dan islamic fun and entertainment. Baca juga: Delapan Hal ini Motori Pertumbuhan Pasar Muslim!
“Nah dari empat industri yang menjadi kiblat dunia itu benang merahnya adalah kita punya populasi based dan creativity based. Orang Arab bingung dengan bisnis jilbab di Indonesia karena jumlah muslimah Indonesia yang lebih banyak. Sementara, dari segi suplai juga kita lebih kreatif karena dari satu singkong saja bisa jadi 88 jenis makanan,” papar Adiwarman.