Bank Indonesia (BI) dan 18 bank syariah menandatangani nota kesepahatan fasilitas Mini Master Repo Agreement (MRA) di Gedung Bank Indonesia, pada Kamis (2/7).

Erwin Rijanto, Deputi Gubernur Bank Indonesia berharap, dengan MRA ini pengelolaan likuiditas industri keuangan syariah dapat terjaga dan mampu mendorong peningkatan transaksi baik di pasar sukuk maupun PUAS.
“Semoga dengan kesepakatan ini, pada akhirnya dapat semakin memantapkan program financial market deepening yang saat ini menjadi salah satu kebijakan strategis di Bank Indonesia,” kata Erwin.Sementara itu, Direktur Eksekutif BI, Treesna W. Suparyono mengatakan pasar keuangan syariah telah tumbuh positif sejak 1992 yang ditandai dengan berkembangnya Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
“Namun, pasar uang syariah memiliki keterbatasan insrumen yaitu baru ada Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), repo SBIS, reverse repo SBSN, Fasilitas Bank Indonesia Syariah (FASBIS) dan Sertifikat Investasi Mudarabah Antarbank (SIMA),” ujarnya
Menurutnya, terdapat beberapa tantangan manajemen likuiditas dalam perbankan syariah. Selain pasar uang syariah yang belum berkembang, jumlah instrumen pasar uang syariah dan volume transaksinya masih sangat terbatas. “Juga ada keterbatasan credit line dan credit limit. Kurangnya penyediaan bantuan likuiditas dari bank induk, dan adanya segmentasi pasar,” jelasnya.
Atas dasar itu, BI telah menerbitkan mekanisme transaksi repo syariah melalui PBI No. 17/4/2015 tanggal 27 April 2015 dan juga Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 17/10/DKMP. Nantinya, jelas Treesna, perbankan yang memiliki Surat Berharga Syariah (SBS) dan membutuhkan likuiditas dapat melakukan jual beli SBS dengan bank counterpart melalui mekanisme repo berdasarkan prinsip syariah.
Ketua Indonesia Islamic Global Market Association (IIGM) Ahmad Badawi mengatakan transaksi wajib menggunakan underlying surat berharga syariah (SBSN atau sukuk korporasi). Transaksi repo syariah ini dapat dilakukan untuk jangka waktu sampai satu tahun, dengan menggunakan akad Al-bai maa al-wal bi al-syira atau jual beli SBS uutright diikuti dengan janji untuk membeli kembali SBS (muwaadah) dengan menyepakati terlebih dahulu harga dan waktu pembelian dan penjualan kembali BSB.
“Dengan adanya mini MRA bank syariah ini, pertumbuhan bank syariah akan lebih aman di tengah masyarakat dan diharapkan dapat melakukan repo dengan bank konvensional,” ujar Ahmad.
Ia menjelaskan, pada tahan awal potensi transaksi repo di bank syariah masih kecil karena kepemilikan Surat Berharga Syariah (Sukuk) bank syariah hanya Rp 5 triliun atau 15 persen dari jumlah portofolio surat berharga bank. “Transaksi repo di bank konvensional mencapai Rp 750 miliar perhari, dari awal peluncuran repo sebesar Rp 115 miliar perhari,” paparnya.
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal IIGMA Budi Kurniawan menuturkan, perbankan yang memiliki Surat Berharga Syariah (BSB) dan membutuhkan likuiditas dapat melakukan jual beli SBS dengan bank counterpart melalui mekanisme repo berdasarkan prinsip syariah. “Bank syariah dapat melaksanakan mini repo ini secara bilateral antar bank syariah atau konvensional, pacsa peluncuran MoU mini MRA,” ujarnya.
Ia berharap dengan adanya transaksi repo syariah menggunakan mini MRA syariah ini, pasar sukuk negara bisa lebih berkembang karena sukuk dijadikan underlying. Saat ini, kata Budi, sekitar Rp 9 triliun hingga Rp 10 triliun dimasukkan ke FASBIS. Dengan adanya repo syariah akan menggerakkan dari FASBIS ke sukuk sekitar 30-40 persen. Adapun untuk rate repo syariah diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan rate transaksi SIMA, karena menggunakan surat berharga syariah sebagai underlying, tetapi di atas rate FASBIS overnight.

