Isu Political Will Masih Hambat Industri Keuangan Syariah

[sc name="adsensepostbottom"]

Indonesia memang telah memiliki undang-undang yang khusus mengatur surat berharga syariah negara dan perbankan syariah. Namun, kebijakan yang tertuang di lapangan belum seluruhnya dinilai memihak industri keuangan syariah Indonesia.

ekonomi syariah
Salah satu aksi sosialisasi FoSSEI di Jakarta untuk menyosialisasikan ekonomi syariah. Foto: fossei.org

Direktur Utama Maybank Syariah Indonesia, Norfadelizan Abdul Rahman, mengatakan berbicara mengenai potensi Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim menimbulkan harapan akan perkembangan industri keuangan syariah yang melaju pesat. Namun, nyatanya hingga kini pangsa pasarnya masih di kisaran lima persen. Dalam hal ini, menurutnya, political will pemerintah masih sangat diperlukan sebagai dasar pengembangan industri keuangan syariah.

Norfadelizan pun menilai hingga kini kebijakan yang ada belum mampu mendorong keuangan syariah Indonesia. “Dana haji juga banyak di bank konvensional dan saat bank syariah minta, bank konvensional bilang ‘nanti ada lubang di liability siapa yang mau nempel (kalau dana haji dialihkan)?’ Selain itu, banyak pengembangan produk juga menghadapi masalah pajak karena tidak ada yang mau mendorong dan lobi ke Kementerian Keuangan untuk memberi insentif pajak. Jadi tidak ada politicall will,” tukasnya.

Padahal, lanjut Norfadelizan, pemerintah menjadi kunci utama pengembangan keuangan syariah. Ia menyontohkan kebijakan penempatan dana BUMN di lembaga keuangan syariah. “Misalnya perusahaan BUMN diminta untuk menyokong industri keuangan syariah atau menetapkan target sekian persen untuk bisnisnya harus disyariahkan dan itu ditingkatkan setiap tahun sebagai target, maka anda akan lihat perbedaan besar di Indonesia,” kata Norfadelizan. Baca: Keberpihakan Pemerintah Buat Syariah Sangat Penting

Sementara, Penasihat Bursa Berjangka Jakarta, Andam Dewi, menilai selama perjalanan lembaganya mengakomodasi komoditi syariah di Indonesia, ia merasakan kendala yang dirasakan adalah adanya segmentasi regulasi. Di satu sisi, peraturan bursa komoditi syariah dan bank syariah ada di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sedangkan di lain pihak pengembangan komoditi syariah juga terkait dengan perpajakan yang berada di Kemenkeu.

“Padahal, kalau mengacu ke Malaysia semua cepat karena ada di bawah satu atap baik itu bank, pajak, dan komoditi syariah. Oleh karena itu, untuk mempercepat keuangan syariah yang diperlukan adalah sinergi koordinator segala lini,” pungkas Andam. Baca: Indonesia Harus Segera Bentuk Komite Ekonomi Syariah

Sebelumnya Kepala Departemen Perbankan Syariah OJK, Ahmad Buchori, mengakui selama ini perkembangan industri keuangan syariah bersifat bottom-up. Berbeda dengan Malaysia yang memiliki Malaysia International Islamic Financial Center (MIFC), yang dipimpin langsung oleh perdana menteri, sehingga ketika terjadi permasalahan di lapangan relatif bisa diselesaikan dengan mudah karena berada di satu atap.

Oleh karena itu, lanjut Buchori, untuk mendorong pengembangan industri keuangan syariah Indonesia kini sudah ada rekomendasi untuk membentuk Komite Nasional Keuangan Syariah yang berperan seperti MIFC. “Harapannya komite ini dipimpin presiden, atau minimal wakil presiden, dengan anggotanya juga adalah kementerian terkait,” imbuh Buchori.