Diharapkan pelaku usaha memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur kepada konsumen.

Mengingat besarnya pangsa pasar tersebut, lanjut Ikhsan, para pelaku usaha diharapkan mau melakukan sertifikasi halal terhadap produk yang diproduksinya. Namun begitu, tegas dia, saat sertifikasi sudah selesai dilakukan, bukan berarti kewajiban produsen terkait kehalalan produk berhenti sampai di situ saja.
“Setelah mendapatkan sertifikasi, pengusaha wajib mencantumkan label halal pada produk yang telah memperoleh sertifikasi halal dalam posisi yang mudah dibaca,” kata Ikhsan dalam diskusi publik tentang Produk Halal di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, pelaku usaha harus mempertahankan kondisi kehalalan produk, serta memisahkan lokasi, tempat, dan peralatan dengan hal-hal yang haram. Pelaku usaha juga wajib memperbaharui sertifikat halal yang sudah tidak berlaku secara berkala empat tahun sekali.
“Apabila ada perubahan komposisi bahan di dalam produk, pelaku usaha harus melaporkan ke Badang Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang tidak halal wajib mencantumkan label haram (tidak halal),” papar Ikhsan.
Ikhsan menegaskan, dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), yang dimaksud dengan bahan dan proses produksi halal yaitu bahan olahan dan bahan-bahan tambahan. Bahan-bahan tersebut bersumber dari hewan, tanaman, mikroba, bahan olahan kimia, biologis atau rekayasa genetic.
Lokasi dan peralatan antara yang halal dan non-halal harus dipisahkan. Misalnya, kata Ikhsan meliputi penyembelihan, proses penyimpanan, pengemasan, disktribusi, penjulan dan penyajian. Lokasi, tempat, dan alat proses produksi wajib dijaga kebersihannya dan higienitasnya, bebas dari najis, dan bebas dari bahan tidak halal.
“Kami berharap pelaku usaha memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur kepada konsumen. Terpenting, sebaiknya pelaku usaha mempunyai pengawas untuk produk halal,” pungkas Ikhsan.

