Sritex bertahan dan membesar karena menjaga nilai-nilai inti perusahaan.
“Ketika yang lain liburan jalan-jalan ke berbagai penjuru dunia, saya malah pulang ke Indonesia” , kata Iwan Kurniawan Lukminto mengisahkan. Saat itu, Iwan masih kuliah di Uiversitas Suffolk, Boston.
Ayah saya, (alm.) H. Muhammad Lukminto memang membiasakan anak-anaknya dengan dunia bisnis dan kerja. Saya disuruh pulang jika ada libur kuliah. Ayah saya minta saya untuk melihat proses produksi di pabrik dan kantor”, kata Iwan Kurniawan Lukminto, Wakil Presiden Direktur PT Sri Rezeki Isman Tbk (Sritex) dalam sesi “Branding Trough Culture & Leadership” di ajang Indonesia Brand Forum (IBF) 2016, di Grand Hyatt, Jakarta (24/8).
Iwan mengaku bersyukur atas pengalamannya itu, karena, meskipun akhirnya dirinya tidak bisa berlibur seperti teman-temannya, ia jadi lebih mengenal dunia bisnis sejak muda. “Sistem ini pun saya terapkan kepada anak saya sekarang”, kata anak keempat pasangan HM Lukminto dan Susyana ini.
Hingga kini, core values Sritex yang dibangun ayahnya, masih diterapkan. Core values Sritex, menurut Iwan adalah penerapan manajemen Cengli dan Trilogi Sritex. Manajemen Cengli adalah tindakan fair dan saling menguntungkan secara luas. Sebuah kerja sama dapat disebut cengli, jika menguntungkan para pihak, atau sama-sama puas.
[bctt tweet=”Manajemen Cengli adalah tindakan fair dan saling menguntungkan ” username=”my_sharing”]
Dalam manajemen Cengli, terkandung nilai keadilan, kebersamaan, dan transparansi. Inilah nilai yang menurut Iwan diwariskan ayahnya untuk diterapkan di Sritex.
Sedangkan Trilogi Sritex adalah:
Pertama, perusahaan adalah sawah ladang kita bersama. “Ayah saya selalu mengatakan, perusahaan ini mengayomi banyak orang. Ini jadi destiny buat saya, bukan lagi pilihan. Dan, destiny ini jangan dijadikan beban”, kata Iwan mengisahkan.
Kedua, continous improvement, hari ini harus lebih baik dari kemarin. Meski terdengar klasik, namun jika diterapkan oleh setiap karyawan, akan memberi hasil yang dahsyat. Karena, setiap orang terdorong untuk meningkatkan kinerjanya.
Ketiga, Sritex terikat pada persatuan dan kesatuan. Sritex memiliki 50 ribu karyawan dari berbagai suku dan agama. Keberagaman yang bersatu akan membuat langkah perusahaan menjadi lebih mudah.
Sritex Bergeming
Sekitar 95% perusahaan yang ada di Indonesia adalah perusahaan keluarga (PwC, 2014). Dari data yang sama juga, 25% produk domestik bruto (PDB) Indonesia berasal dari kekayaan perusahaan keluarga ini.
Sebagaimana diketahui, Sritex adalah salah satu korporasi kebanggan bangsa. Tidak hanya menjadi produsen tekstil terbesar di Asia Tenggara, Sritex dikenal sebagai pemasok seragam militer sebagian negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), seperti Jerman dan Amerika Serikat (AS).
Pada 2007 saja, Sritex mendapat penghargaan MURI karena menyuplai seragam militer untuk 16 negara di dunia dan kini lebih dari 30 negara memesan seragam mliternya pada Sritex. Produk Sritex juga masuk jaringan Walmart dan beberapa merek busana papan atas dunia seperti H&M dan Vogue memesan busananya dibuat oleh Sritex.
Total aset: USD 851.787.649
Liabilitas: USD 557.311.473
Laba Berjalan: USD 31.999.264
Harga saham (SRIL): 266.00 (25/8/2016)
Ketika serbuan sandang dari China menggelisahkan industri tekstil nasional sejak awal 2000-an ini, Sritex bergeming. Kualitas dan penguasaan pasarnya tak tertandingi.
Dan, iya Sritex adalah perusahaan keluarga. Dibangun dengan sangat sederhana oleh Ie Djie Shien. Ie Djie Shien kemudian berganti nama menjadi Lukminto, lalu HM Lukminto pada 1995 ketika ayah Iwan ini masuk Islam. Bisnis tekstilnya dimulai pada 1966, pasca Gerakan 30 September 1966.
Karena peristiwa politik itu, Ie Djie Shien terpaksa berhenti dari SMA Chong Hua Chong Hui, Surakarta. Ie Djie Shien yang masih berumur 20 tahun saat itu mengikuti jejak kakaknya, berdagang batik dan pakaian di Pasar Klewer, Solo dengan modal awal Rp100 ribu pemberian ayahnya.
Sritex adalah cerminan perusahaan keluarga yang berhasil. Malah, nenurut Iwan Kurniawan Lukminto, potensi perusahaan keluarga di Indonesia sangat besar. Karena Indonesia adalah negeri berpopulasi terbesar keeempat di dunia.
Namun, untuk menuju keberhasilan, diperlukan profesionalisme dan keterbukaan. “Itu harus sangat diterapkan di Family Business. Apalagi jika sudah terbuka (Tbk.) Family Business harus sangat profesional”, kata Iwan menambahkan.

Ketahanan Sandang
Menjadi ahli di bidang sandang, Iwan melihat bahaya di bidang sandang bagi Indonesia. Maka dari itu, ia mengusulkan wacana “ketahanan sandang”. Dalam konferensi pers Indonesia Brand Forum (IBF) 2016 di Jakarta, Rabu (24/8), Iwan memperkenalkan istilah ini.
[bctt tweet=”Batik Indonesia bahan dasarnya adalah cotton yang 100% kita impor!” username=”my_sharing”]
Ketahanan sandang menurutnya penting dan belum diwacanakan. “Kita punya UU Pangan, juga Papan, tapi UU Sandang belum ada. Ketahanan sandang ini penting, salah satunya untuk mengurangi komposisi impor dalam industri tekstil Nasional”, kata Iwan menerangkan. “Batik yang ada di Indonesia bahan dasarnya adalah cotton, tahukah Anda bahwa cotton itu 100% kita impor?”, kata Iwan lagi.

