Wisata Religi Lebih Abadi

[sc name="adsensepostbottom"]

Yakin halal tapi tidak mau sertifikasi, padahal itu daya tarik konsumen.

Forum diskusi bulanan Republika, Rembuk Republik  mengusung tema “Memaksimalkan Industri Wisata Halal di Indonesia”. Acara ini digelar di  Balairung Soesilo Soedarman Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Jakarta,  Kamis (4/5).

Dalam sambutannya membuka Rembuk Republika, Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya mengatakan, wisata bernilai religi lebih abadi, namun tak dipungkiri dari sisi bisnis, wisata bernilai religi tetap butuh kuantifikasi dan sinergi dengan ilmu bisnis.

” Wisata itu juga soal nilai, dan yang dijual tidak hanya produk dan proses, tapi juga nilai. Sebut saja Bali yang wisatanya berpegang pada nilai spiritual untuk baik pada Tuhan, manusia, dan alam. Wisata halal atau wisata ramah Muslim juga bisa demikian. Islam punya konsep habluminallah, habluminannas, dan rahmatan lil ‘alamin,” ujar Arief.

Arief menyampaikan, Indonesia berhasil naik satu peringkat dalam Global Muslim Travel Index (GMTI) 2017, yakni  Indonesia berhasil masuk di posisi ke tiga dari posisi empat. Dengan posisi itu, Arief merasa yakin Indonesia bisa melampaui Malaysia dan UEA yang kini di peringkat dua teratas. Tapi, Indonesia masih punya pekerjaan rumah.

”Kekuatan yang jadi kelemahan kita adalah halal. Kita yakin halal tapi tidak mau sertifikasi, padahal itu daya tarik konsumen,” jelas Arief.

Menurutnya, dengan pasar besar, berkelanjutan, dan menjanjikan profit wisata halal tidak bisa Indonesia hindarkan. Apalagi, orang Indonesia memang ramah terhadap tamu. Maka, untuk benar-benah bisa meraih kue besar pasar halal ini, Indonesia harus benar-benar menyiapkan wisata halal. Panduan industri wisata halal dunia seperti GMTI bisa jadi acuan Indonesia untuk benahi wisata halal. Semua PR wisata halal Indonesia termasuk infrastruktur, kebersihan dan higienitas, harus bisa dikuantifikasi sehingga arah perbaikannya jelas.

Saat ini, lanjut Arief, Indonesia sedang fokus meningkatkan serapan pasar lebih inklusif, termasuk menggunakan terma wisata ramah Muslim. ”Beda keuangan beda wisata. Kata syariah sensitif di wisata. Begitu jadi ramah, jadi gaya hidup,” ungkap Arief.

Selain itu, tambah dia, Indonesia juga tengah memperluas penetrasi berdasarkan geografis, yaitu wisata mirip komunikasi dan transportasi dimana pengunanya melakukan itu karena kedekatan (proximity).