Belanja produk halal penduduk muslim mencapai 1,9 triliun dolar.
Dalam beberapa tahun terakhir, nilai belanja produk halal tumbuh pesat. Berdasar data Thomson Reuters, pada 2015 belanja penduduk muslim pada produk barang dan jasa halal mencapai lebih dari 1,9 triliun dolar AS. Pengeluaran makanan dan minuman mencatat penjualan terbesar dengan nilai 1,2 triliun dolar AS.
Namun, pengembangan industri halal di Indonesia relatif lebih lambat dibanding negara-negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya. Berdasar data Thomson Reuters, indikator ekonomi Islam Indonesia berada di urutan ke-10, sementara Malaysia berada di puncak. Padahal, Indonesia punya potensi pasar yang besar dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Akhmad Akbar Susamto mengatakan, jika dikelola dengan baik mestinya potensi tersebut dapat menjadikan Indonesia sebagai pusat industri halal global. Oleh sebab itu, CORE Indonesia mencatat beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah untuk mengembangkan ekosistem bisnis halal di tanah air.
Pertama, pemerintah perlu mempercepat penyelesaian peraturan pendukung untuk Undang-undang Produk Jaminan Halal. “UU telah disahkan sejak 2014, tapi peraturan pelaksana UU belum juga dibuat. Badan Pelaksana Produk Jaminan Halal yang harus dibentuk pada 2017 pun belum terdengar kabarnya,” katanya, Selasa (23/5).
Kedua, pemerintah perlu meningkatkan kapasitas lembaga sertifikasi halal. Saat ini jumlah perusahaan yang belum memiliki sertifikasi halal masih cukup besar. Berdasarkan data Kementerian Agama, dari 2011-2014 produk yang bersertifikasi halal diperkirakan hanya 26 persen dari produk yang teregistrasi di BPOM.
“Oleh sebab itu, lembaga sertifikasi halal nantinya harus mampu melakukan proses sertifikasi secara cepat dan transparan. Jika perlu, lembaga sertifikasi tersebut dapat menggandeng BPOM yang memiliki SDM dan infrastruktur cukup baik dan tersebar di seluruh provinsi. Proses yang dapat dibuat satu atap ini akan membuat pengurusan sertifikat halal menjadi lebih efisien,” ujar Akhmad.
Ketiga, pemerintah perlu mendesain agar regulasi sertifikasi halal tidak menghambat kemajuan pelaku ekonomi khususnya pelaku UMKM. Salah satunya dengan memberikan subsidi pengurusan sertifikat halal kepada UMKM. Standar biaya JAKIM di Malaysia bisa menjadi contoh menetapkan biaya sertifikasi berdasar skala usaha.
“Pada kategori usaha produksi, logistik dan manufaktur, misalnya usaha mikro dikenakan biaya hanya RM100 atau sekitar Rp 300 ribu, industri kecil biayanya mencapai RM400 atau sekitar Rp 1,2 juta. Adapun industri menengah dan multinasional masing-masing sebesar RM700 atau sekitar Rp 1,2 juta dan Rp 3 juta,” paparnya.
Keempat, pemerintah harus mendukung pertumbuhan industri halal domestik dengan mengembangkan ekosistem industri halal, seperti pada industri farmasi dan fesyen. “Dukungan lainnya adalah pemberian insentif fiskal. Di Malaysia, industri halal mendapatkan potongan pajak investasi dan pemerintah hingga 100 persen yang berlaku selama 10 tahun. Bahan baku juga dibebaskan dari bea masuk dan pajak penjualan,” pungkas Akhmad.

