Sertifikasi halal bukan upaya islamisasi, justru barrier perlindungan untuk pengusaha dan produsen nasional Indonesia.
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Wacth (IHW) Ikhsan Abdullah mengungkapkan kekhawatiran pemohon uji materiil tentang ancaman produk halal tidak beralasan.
Menurutnya, pemohon salah menangkap maksud Undang-Undang No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). “Undang-undang ini sifatnya mandatory sertifikasi halal, bukan mandatory halal,” ujar Ikhsan, di Jakarta, Rabu (12/7).
Dijelaskan Ikhsan, adapun yang dimaksud mandatory sertifikasi halal adalah semua makanan dan minuman wajib disertifikasi. Jika suatu produk tidak mengandung bahan haram, maka mesti diberi label halal. Adapun produk mengandung bahan haram, seperti babi atau alkohol, tidak wajib mengajukan sertifikasi halal sesuai pasal 26 ayat (1) UU JPH.
Dengan kata lain, tegas Ikhsan, produk haram tetap bisa beredar dan tidak dilarang di Indonesia. Dan kekhawatiran pemohon hakikatnya sudah dibahas oleh DPR selama sembilan tahun, yaitu ketika UU JPH masih berbentuk rancangan undang-undang (RUU).
“Sertifikasi halal bukanlah upaya islamisasi. Sertifikasi halal justru merupakan barrier perlindungan untuk pengusaha dan produsen nasional Indonesia. Ini sebagai upaya melindungi dari serangan barang jasa dari luar negeri yang membanjiri Indonesia. Sebab, Indonesia adalah pasar yang besar yakni seperempat jumlah populasi dunia,” ungkapnya.
Sebagaimana diketahui, Paustinus Siburian yang berprofesi sebagai advokat menilai UU JPH tidak memberikan pembatasan-pembatasan mengenai halal tidaknya suatu produk, baik menyangkut bahan maupun proses produksi.
Menurut Paustius, seharusnya undang-undang menyebutkan dengan tegas yang menjadi sasaran adalah umat Islam atau konsumen muslim seperti dalam Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009 tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal.
Diungkapkan dia, bahwa ketentuan yang diujikan menyatakan produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan harus bersertifikat halal. Pengertian ini menurut Paustius, akan berdampak suatu produk yang dibeli di luar negeri untuk penggunaan akhir di Indonesia tidak perlu bersertifikat halal karena tidak beredar dan diperdagangkan. Dia juga ditafsirkan pemesanan secara online untuk penggunaan akhir tidak wajib bersertifikat halal.
[bctt tweet=”Sertifikasi halal jangan membebani konsumen!” username=”my_sharing”]
Menurutnya, kewajiban sertifikasi halal dalam Pasal 4 UU JPH, akan menyebabkan kenaikan biaya yang tidak perlu dan membebankan konsumen. Maka dalam petitum-nya, Paustius meminta ketentuan tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

