Sebelum memelajari keuangan publik Islam, memahami keuangan public konvesional adalah keharusan, pun dengan Islamic worldview.
[su_note note_color=”#d5d5d5″ text_color=”#40433f” radius=”5″]MySharing berkesempatan mengikuti General Lecture on Public Finance yang diadakan di STEI Tazkia, Sentul, Bogor pada 1 Agustus 2017 dengan narasumber Dr. Ugi Suharto, Associate Professor di University College of Bahrain (UCB). Satu kesempatan langka untuk mendengar paparan langsung dan berdiskusi dengan salah satu pakar keuangan public Islam kelas dunia asal Indonesia ini. Untuk pembaca, kami membagi sedikit apa yang bisa kami tangkap dari kuliah umum tersebut. Komentar terbuka untuk yang ingin berdiskusi.[/su_note]
Karena pasar tidak sempurna, maka terjadilah kegagalan pasar. Inilah mengapa timbul disiplin ilmu keuangan publik karena pasar yang tidak sempurna. Pasar yang sempurna itu secara aktual tidak ada, hanya dalam teori, dan itu sebenarnya untuk tolok ukur (benchmark). Dalam realitanya ada Si Kaya dan Si Miskin, ada penjual yang lebih sedikit daripada pembeli. Kalau dalam pasar yang sempurna, penjual dna pembeli sama jumlah, tidak terjadi assimetric information, agency problem, moral hazzard, dan lain-lain. Di sinilah peranan keuangan publik yang dilakukan oleh pemerintah.
Pahami yang Konvensional untuk Memahami Yang Terjadi
Untuk memahami keuangan publik Islam, harus memahami dulu yang konvensional. Ya yang konvensional tidak selamanya salah. Yang benar diambil, yang salah ditinggalkan”, kata Dr Ugi Suharto.
Sama halnya dengan ilmu ekonomi konvensional, tidak semuanya salah, menurut Ugi, memelajari keuangan public Islam memang special. Karena, selain harus paham yang konvensionalnya, juga harus memelajari Islamnya itu sendiri. “Kalau kita hanya belajar keuangan publik yang Barat saja, kita tidak tahu tentang fikih, kalam, dan Islamic worldview. Ketika kita juga membahas itu, sudah masuk wilayahnya keuangan publik Islam”, kata Ugi menjelaskan.
Namun demikian, sulit dipungkiri, keuangan public Islam bukanlah disiplin ilmu yang sudah mapan. Karena, untuk menjadi disiplin ilmu yang mapan, tidaklah bisa cepat diraih. Ugi yang malang melintang di dunia kepakaran keuangan Islam global ini menyontohkan, ilmu ekonomi konvensional saja, perlu 200 tahun untuk menjadi mapan. Ilmu ekonomi konvensional, buku teks standarnya saja, baru diakui dunia pada 1950. Padahal Adam Smith membuat buku babon ilmu ekonomi, The Wealth of Nation pada 1776.
“Ekonomi Islam apalagi, masih baru, tapi seringkali kita sering disuruh buru-buru membuat model, text book, nah ketika diburu-buru, hasilnya jadi tidak optimal. Makanya suka ada yang bilang hasilnya sama saja (dengan ilmu ekonomi konvensional—red),” kata Ugi menjelaskan.
[bctt tweet=”Keuangan publik itu bisa di-Islamkan kok!” username=”my_sharing”]
Memahami ilmu ekonomi konvensional adalah keharusan sebelum memahami ilmu ekonomi Islam. Alumni Universitas Islam AntarBangsa Malaysia ini menyontohkan, opportuniy cost. Opportuniy cost bicara dalam pilihan, the choice. Namun kalau melihatnya dari sudut pandang Islam, opportuniy cost itu harus di antara dua hal yang baik. Bukan antara yang baik dan yang buruk. Ugi menyontohkan, jika kita diminta memilih minum bir atau jus buah, bagi orang Islam itu bukan pilihan, karena bir haram. “Seorang Muslim, karena Islamic worldview-nya tidak memilih bir untuk dikonsumsi. Jadi, opportunity cost harusnya tumbuh di antara dua hal yang baik, misalnya antara memilih bekerja sebagai karyawan atau membuka usaha sendiri, jika memilih menjadi pengusaha, kita kehilangan potensi mendapatkan gaji sebagai karyawan, opportunity cost”, kata Ugi menjelaskan.
Keuangan public konvensional sebenarnya bisa di-Islamkan dalam beberapa hal. Misalnya kebijakan pajak atas bunga, untuk transaksi equity based, pajaknya lebih banyak, sedangkan yang debt based karena membayar bunga dianggap sebagai beban, pajaknya lebih kecil. Ini harusnya diubah, karena debt based tidak lebih Islami daripada equity based. Mestinya, menurut Ugi, sama pajaknya antara equity dan debt based.
Tak lupa, Ugi menyarankan buku bacaan. Salah satu buku yang layak dipelajari untuk keuangan public Islam adalah kitab Al Amwal dari Abu Ubaid. Buku ini, menurut Ugi lebih berat bicara tentang keuangan public Islam ketimbang keuangan keluarga atau pribadi. Meskipun judulnya tidak serta merta menyebutkan keuangan publik. Al Amwal sendiri berarti harta
Islamic Worldview
Setelah memahami ilmu ekonomi konvensional, seorang pembelajar ekonomi Islam, harus memperkuat Islamic worldview-nya.
Islamic worldview itu bukan paradigma, dalam worldview tidak ada paradigm shift, karena sudah final, ultimate. Worldview tidak akan ketinggalan jaman. “Kalau di Islamic worldview, yang berubah kalam dan fikihnya,” kata Ugi. Sebagaimana kita ketahui, untuk fikih saja ada fikih Maliki, Hanafi, dan sebagainya.
[bctt tweet=”Islamic worldview itu bukan paradigma, karena sudah final!” username=”my_sharing”]
Menariknya, menurut Ugi, sebenarnya Islamic worldview itu adalah iman. “Kita menggunakan bahasa dan budaya Barat, menggunakan istilah worldview, maka Islamic wordview adalah pandangan hidup Islam, sebenarnya ini adalah iman”, kata Ugi. Kalau umat Islam menggunakan kata “iman” atau “faith” takutnya ada apriori duluan. Padahal, sebenarnya, “Islamic worldview hakekatnya adalah iman, tapi bukan iman yang sederahana, tapi menggunakan peradaban Barat dengan iman. Iman lebih menarik daripada Islamic worldview”, kata Ugi menegaskan.
Makanya, menurutnya kesarjanaan harus terintegrasi antara ilmu agama dan ilmu umum. Terbukti, misalnya di STEI Tazkia sendiri, santri-santri yang hafal Alquran, lebih cepat dalam memahami ilmu matematika.

