Pasar terdistorsi, negara harus turun tangan. Inilah relevansi pemikiran Yahya bin Umar dalam Al-Ahkam Fil Suuq dengan konteks kekinian.
Perlu diangkat kembali relevansi pemikiran ekonomi Yahya bin Umar dalam konteks kekinian. Perlu dikaji lebih dalam pemikirannya dan disandingkan dengan konsep ekonomi Barat yang berawal dari pemikiran Adam Smith dalam The Wealth of Nations.
Ini adalah kesimpulan dari diskusi Monday Forum di Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia, Sentul City, Kabupaten Bogor pada Senin (23/10). Dalam kajian kitab turats kali ini mengambil kitab Al-Ahkam Fil Suuq (Berbagai Hukum di Pasar) karangan Yahya bin Umar, dengan pengaji Nurizal Ismail, M.A. pengajar pada Sekolah Tingi Ekonomi Islam Husnayain, Jakarta.
Yahya bin Umar bernama lengkap Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Al – Kannani Al – Andalusi. Ulama mazab Maliki ini lahir pada 213 H yang besar di Kordoba Spanyol) dan menulis Kitab Ahkam al Suq (Hukum – Hukum Pasar) pada tahun 250 H atau sekitar 12 abad yang lalu.
Kitab Al-Ahkam Fil Suuq , banyak memuat tentang bagaimana strategi pemerintah dalam mengendalikan harga di pasar. Di antara beberapa hal yang menjadi perhatian Yahya bin Umar dalam mengamankan harga pasar, yaitu sebuah prinsip tegas, wajib bagi pengawas di pasar-pasar Muslim menegakkan keadilan. Baik itu wali pemerintah, Qadi (hakim), dan pengawas terhadap pasar Muslim.
“Juga ketika pasar dalam keadaaan terdistorsi, negara boleh bertindak mengamankan harga, misalnya bertindak mengamankan harga terutama harga kebutuhan pokok”, kata Nurizal dalam kajiannya.
Perlindungan Konsumen
Yahya bin Umar ini juga menyinggung soal diskriminasi harga. Misalnya tentang perbedaan harga antara kota dan desa. Dalam konteks masa hidupnya, Yahya bin Umar membahas apakah harga di pasar lokal, dalam hal ini Qairuwan, Afrika harus mengikuti harga di pasar di Kota Madinah, misalnya. Dalam konteks saat ini di Indonesia, apakah harga di Papua dan Jakarta harus sama harganya? Berbeda secara logika, terutama untuk bawang pokok. Bagi Yahya bin Umar harga di pasar Mesir tidak harus sama dengan harga di Qairuwan.
[bctt tweet=”Harga beda di Papua dan Jakarta, apa hukumnya dlm Islam?” username=”my_sharing”]
Keadilan harga dan perlindungan terhadap konsumen mewajibkan sebuah kebijakan. Kalau terjadi distorsi pasar, Pemerintah harus turun tangan. “Nah, di sini, prinsip invisible hand yang dijunjung oleh neo liberal akan sulit karena tidak memperhitungkan distorsi pasar”, kata Dr. Murniati Mukhlisin, Wakil Ketua SETI Tazkia mengomentari.
Mewujudkan keadilan, berarti tidak menjual sesuatu yang belum matang atau jadi. Yahya bin Umar pernah ditanya tentang buah tin, apel, anggur, dan buah-buahan lainnya. Buah-buahan tersebut dijual di pasar sebelum layak dikonsumsi.
[bctt tweet=”Bolehkah menjual buah yang belum matang?” username=”my_sharing”]
Jawabannya adalah, “Jika memang sudah mendengar buah-buahan yang dijual sebelum layak, tapi jika banyak dilakukan di daerah-daerah terjadi seperti itu, maka boleh. Jika sudah menjadi kebiasaan orang banyak di suatu daerah, maka boleh, kalau sedikit. Namun, sebaiknya dilarang untuk memetiknya karena itu akan merugikan orang banyak. Merugikan masyarakat karena ketika dibutuhkan, ada permintaan, barangnya sudah tidak ada, karena sudah dijual sebelum masak”, kata Nurizal.
Dalam keadaaan kekinian sering kita melihat durian yang dijual sebelum masak. Selama itu bukan bahan pokok, dan berjumlah sedikit boleh saja.

Sekilas Yahya bin Umar
Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Al – Kannani Al – Andalusi ini lahir pada tahun 213 H, dibesarkan di Kordoba, Spanyol. Seperti para cendikiawan Muslim terdahulu, ia berkelana ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu. Mulanya, ia singgah di Mesir dan berguru kepada para pemuka sahabat Abdullah bin Wahab Al – Maliki dan Ibn Al – Qasim, seperti Ibnu Al – Kirwan Ramh dan Abu Al – Zhahir bin Al – Sarh. Setelah itu dia pindah ke Hijaz dan berguru kepada, di antaranya, Abu Mus’ab Az – Zuhri. Akhirnya, Yahya bin Umar menetap di Qairuwan, Afrika, dan menyempurnakan pendidikannya kepada seorang ahli ilmu faraid dan hisab, Abu Zakaria Yahya bin Sulaiman Al – Farisi.
Kemudian Ia menjadi pengajar di Jami’ Al – Qairuwan. Pada masa hidupnya ini, terjadi konflik yang menajam antara fuqaha Malikiyah dengan fuqaha Hanafiah yang dipicu oleh persaingan memperebutkan pengaruh dalam pemerintahan. Yahya bin Umar terpaksa pergi dan menetap di Sausah ketika Ibnu ’Abun, yang berusaha menyingkirkan para ulama yang menentangnya, baik dengan cara memenjarakan maupun membunuh.
Di Shausah, Beliau menjadi Qadi (hakim) di negeri itu. Setelah Ibnu ‘ Abdun turun dari jabatannya, Ibrahim bin Ahmad Al – Aglabi menawarkan jabatan Qadi kepada Yahya bin Umar. Namun beliau menolak dan memilih tetap tinggal di Shausah serta mengajar di Jami’ Al – Sabt akhir hayatnya. Yahya bin Umar wafat pada 289 H ( 901 M ).

