(ki-ka) Rektor STEI Tazkia, Dr. Murniati Mukhlisin M.Acc dan Kepala LPPM STEI Tazkia, Ries Wulandari, M.Si pada Research Outlook 2018, LPPM STEI Tazkia, Kamis (28/12/2017). Foto: MySharing

Pangsa Pasar Perbankan Syariah Naik, Jangan Senang Dulu!

[sc name="adsensepostbottom"]

Akademisi dan peneliti diharap lebih kritis terhadap perkembangan terkini ekonomi dan keuangan Islam. Ini sebabnya.

Kinerja industri keuangan syariah, khususnya perbankan syariah pada 2017, positif. Tercermin dari pertumbuhan aset perbankan syariah dan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Syariah. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), aset perbankan syariah hingga November tumbuh 11,09 persen (ytd) dengan nilai pembiayaan sebesar 10,66 persen (ytd). Sedangkan, aset IKNB syariah tumbuh sebesar 11,19 persen (ytd). Baca juga: Aset Perbankan Syariah Tumbuh 11 Persen

Perkembangan mutakhir ini, menurut Rektor Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia, Dr. Muriniati Mukhlisin, M. Acc janganlah sampai membuai. Karena bisa jadi, pertumbuhan itu adalah hasil dari konversi Bank Aceh menjadi Bank Aceh Syariah dan Bank NTB menjadi Bank NTB Syariah. “Jangan melulu memuji-muji seperti sekarang, benar tidak ini karena pertumbuhan industri perbankan syariahnya, jangan-jangan ini lebih karena ada konversi Bank Aceh dan Bank NTB”, kata Murniati kepada MySharing, di sela-sela Research Outlook 2018, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) STEI Tazkia, Kamis (28/12/2017).

Harus Sejalan
Jika hal ini yang terjadi sebenarnya, artinya pertumbuhan aset tersebut lebih didorong oleh political will atau yang bersifat Top Down, bukan Bottom Up. Sementara, menurutnya antara bottom up dan top down sejatinya harus saling bergerak dan menarik satu sama lain. “Kalau tidak dari bottom up, sulit bergerak”, kata Murniati.

Ia menyontohkan, Malaysia, yang pertumbuhan perbankan syariah dari awal memang sudah ada political will. Tapi, masyarakatnya juga bergerak atau ada gerakan bottom up seriring sejalan. Malaysia kini sudah di 28 persen aset keuangan syariahnya. Kemungkinan besar akan di atas 30 persen tahun ini. Bahkan, di 2025 Malaysia menurutnya, mengharapkan bisa mencapai 50 persen.

Keadaaan inilah yang sebenarnya menarik untuk dibuat penelitiannya. “Inilah saatnya membuat penelitian yang lebih kritis. Mengapa, kalau political will melemah, sementara bottom up-nya tidak jalan, tidak sampai-sampai juga target pertumbuhannya. Jadinya, dua-duanya harus jalan” kata Murniati menegaskan.

Syariahkah Saham Syariah?
Dari antara bersikap kritis menurut lulusan Glasgow University ini adalah, mengapa pada skema murabahah di Indonesia masih memakai akad wakala. Lalu, jika pada skema mudharabah, mengapa kita tidak berani bagi rugi?  “Jangan kaget, sekira dua tahun lalu ada yang datang ke saya menyatakan dirinya siap membagi rugi dengan bank syariah pada skema mudharabah ini. Berarti ini ada appetite ke sana. Nah, kritik lagi di dalam riset. Ketika riset jalan terus juga, regulator akan mendengar”, kata Murniati menjelaskan.

Di saham syariah juga. Misalnya salah satu dibolehkannya sebuah emiten masuk dalam Daftar Efek Syariah (DES) adalah kandungan utang riba emiten tersebut paling banyak 10 persen. Murniati mengeritik, menapa tidak bisa diturunkan menjadi 5 persen, karena inginnya emiten syariah itu ya benar-benar syariah. Jangan-jangan, menurutnya, sebuah emiten dinyatakan syariah itu sebenarnya bukan kemauan dirinya sendiri, melainkan pemerintah yang melabelkannya syariah. Supaya, pasar modal syariah menjadi lebih menarik. Nah, penelitian seputar ini akan menarik untuk dilakukan.

Juga seputar keuangan mikro. Tidak lagi cukup practical observation, namun menurutnya peneliti harus mulai tinggal di rumah nasabah keuangan mikro syariah. Hal ini untuk melihat apakah perilaku mereka berubah? Bagaimana pandangan mereka terhadap rentenir, apakah mereka memahami riba itu apa, apakah mereka menjadi semakin spiritual, dan sebagainya. Ini juga bahan penelitian yang menarik.

Ibarat Sumur Utsman
Hal lainnya yang menurutnya tak kalah penting adalah akuntabilitas. Ketika kita bicara  tentang akuntansi, sebenarnya juga menyinggung akuntabilitas. Karena memang, dua istilah ini berdekatan secara konsep. Akuntabilitas itu bicara keberlanjutan sebenarnya. Murniati merujuk surat al Hasyr ayat 18 yang isinya, kurang lebih, orang Mukmim disuruh bertakwa lalu melihat ke depan dan melihat apa yang terjadi hari esok. Hanya orang-orang yang bertakawa yang bertakwa yang mengetahui sebenarnya apa yang harus dipertanggungjawabkan.

[bctt tweet=”Kalau mengerjakan amal soleh, mestinya sustainable” username=”my_sharing”]

“Ketika bicara accountability, sebenarnya juga bicara tentang sustainability. Kalau mengerjakan amal soleh, mestinya sustainable”, kata Murniati. Ia pun menyontohkan, apa yang dilakukan sahabat Nabi, Utsman bin Affan ketika membeli sebuah sumur dari Yahudi untuk dipakai bergantian. Menurut Murniati, Utsman ini seorang futuristik sebenarnya, karena tidak mau membeli sesuatu yang tidak bermanfaat di kemudian hari. Ketika dianggap akan berkelanjutan, Utsman pun membeli sepenuhnya sumur itu dari kaum Yahudi.

Jadi, pesan Murniati, dosen sekarang, jangan membuat penelitian yang normatif-normatif saja. “Ini yang kami harapkan, penelitian yang lebih galak, teliti, dan cerdas. Di lain pihak, pemerintah pun harus lebih merespon, misalnya melalui hibah-hibah”, kata Murniati menegaskan.